Badal haji sama artinya dengan menghajikan orang lain jika orang tersebut tidak dapat melakukannya. Biasanya badal haji dilakukan bagi mereka yang telah lanjut usia (lansia) atau meninggal.
Menurut buku Peta Perjalanan Haji dan Umrah Edisi Revisi susunan Agus Arifin, badal haji baru dapat dilaksanakan jika orang tersebut telah haji untuk dirinya terlebih dahulu. Maka, haji kedua, ketiga dan seterusnya boleh diniatkan untuk menghajikan keluarga atau orang tua yang telah meninggal dunia.
Dalam karya Gus Arifin lainnya yang bertajuk Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah dikatakan bahwa orang yang memiliki sakit berat dan tidak memungkinkan pergi namun memiliki biaya yang cukup untuk berhaji maka boleh dibadalkan. Badal artinya pengganti, dengan demikian badal haji berarti seseorang yang berniat haji bukan untuk dirinya, namun untuk menggantikan haji orang lain.
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ada seorang wanita dari daerah Khats’am mengadu kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah sesungguhnya bapakku sudah wajib melaksanakan haji, akan tetapi kondisinya sudah tua renta, ia sudah tidak bisa duduk tegak di atas punggung untanya?” Maka Rasulullah SAW menjawab: “Hajikanlah ia!” (HR Ahmad).
Pada hadits lainnya yang juga bersumber dari Ibnu Abbas, dikatakan ada seorang wanita dari daerah Juhainah datang kepada Nabi SAW. Kemudian ia berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk haji, akan tetapi sebelum sempat melaksanakannya ia meninggal dunia, apakah saya harus menghajikannya?” Rasulullah SAW menjawab: “Ya, hajikanlah ia, karena bagaimana menurutmu seandainya ibumu mempunyai utang bukanlah engkau harus melunasinya? Tunaikanlah hak Allah, sesungguhnya hak Allah itu lebih berhak untuk dipenuhi,” (HR Bukhari).
Lantas, bagaimana hukumnya apabila seseorang menyewa orang lain untuk melaksanakan badal haji?
Hukum Menyewa Orang Lain untuk Melaksanakan Badal Haji Ketika berbicara mengenai sewa menyewa, tentu ada upah yang dikeluarkan. Setelah membayar, barulah seseorang bisa memperoleh apa yang sebelumnya dijanjikan, entah itu barang ataupun jasa.
Merujuk pada buku yang sama, yaitu Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah, ketika seseorang menyewa jasa orang lain untuk melaksanakan badal haji, maka kelebihan biaya dari pelaksanaan ibadah tersebut menjadi haknya. Kemudian, apabila biaya sewa menyewa hilang, dicuri, atau harus membayar dam karena pelanggaran ihram, hal tersebut menjadi tanggungan sendiri.
Pendapat para ulama mazhab terkait sewa menyewa dalam badal haji cukup beragam. Mayoritas ulama Hanafi menuturkan tidak boleh menyewa orang lain untuk melaksanakan badal haji, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat Ubah bin Ka’ab.
Beliau pernah mengajari Al-Qur’an lalu diberi hadiah busur, Rasulullah SAW bersabda:
“Kalau kamu mau busur dari api menggantung di lehermu ya ambil saja,” (HR Ibnu Majah).
Selain itu, Nabi Muhammad juga berpesan kepada Utsman bin Abil Ash,
“Angkatlah muadzin yang ia tidak mengambil upah atas pekerjaan azannya itu,” (HR Abu Daud).
Sementara itu, ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali serta sebagian ulama Hanafi berpandangan boleh menyewa orang untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya yang bisa diwakilkan. Ketetapan ini didasarkan dari sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari.
“Sesungguhnya upah yang paling layak kamu ambil adalah (mengajarkan) kitab Allah,” (HR Bukhari).
Adapun, mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat boleh menyewa orang lain untuk melaksanakan haji, ini berlaku baik untuk orang yang telah meninggal maupun yang belum meninggal. Namun, di lain sisi ada juga ulama Maliki yang memiliki pandangan makruh hukumnya menyewa untuk badal haji.
Menurut mereka, menyewa orang melaksanakan ibadah haji hanya boleh untuk mereka yang telah meninggal dan itu harus ada wasiat. Jika tidak diwasiatkan, hukumnya menjadi tidak sah.
Syarat-syarat Badal Haji
Saat melaksanakan badal haji, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Mengacu pada sumber yang sama, berikut sejumlah syaratnya:
1. Orang yang Menggantikan Harus Sudah Haji
Orang yang akan menghajikan harus sudah melaksanakan ibadah haji, juga tidak boleh untuk menggabung dengan haji orang lain lagi. Orang tersebut juga harus sudah akil balig serta sehat jasmani sesuai dengan sebuah hadits yaitu,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ سَمِعَ رَجُلاً يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ. فَقَالَ: مَنْ شُبُرْمَةُ؟ “. فَذَكَرَ أَخَا لَهُ أَوْ قَرَابَةً فَقَالَ: أَحَجَجْتَ قَطُّ؟ “. قَالَ: لَا قَالَ: ” فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ . وَقَالَ الْآخَرُ : فَذَكَرَ قَرَابَةً فَقَالَ: أَحَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْ نَفْسِكَ ، ثُمَّ احْجُجْ عَنْ
شُبْرمَةَ. (هَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ لَيْسَ فِي هَذَا الْبَابِ أَصَحُ مِنْهُ. أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي السُّنَنِ)
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, pada saat melaksanakan haji, Rasulullah SAW mendengar seorang lelaki berkata “Labbaik ‘an Syubrumah” (labbaik/aku memenuhi panggilanmu ya Allah, untuk Syubramah), lalu Rasulullah bertanya “Siapa Syubramah?” “Dia saudaraku, ya Rasulullah,” jawab lelaki itu. “Apakah kamu sudah pernah haji?” Tanya beliau. “Belum,” jawabnya. “Berhajilah untuk dirimu, lalu berhajilah untuk Syubramah,” lanjut Rasulullah SAW. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Daruquthni)
2. Membaca Niat Badal Haji
Niat menghajikan orang lain dapat dilakukan pada saat ihram. Bacaan niat badal haji,
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ الْحَجَّ عَنْ فُلَانٍ مِنْ فُلَانٍ / فَلَانَةٍ بِنْتِ فُلَانٍ
Arab latin: “Labbaika allâhumma al-hajja ‘an (Fulan bin Fulan) atau (Fulanah binti Fulan)”
Artinya: “Aku sambut panggilan-Mu ya Allah untuk berhaji untuk (Fulan bin Fulan) atau (Fulanah binti Fulan)”
Dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Al Majmu’ menyampaikan bahwa, “Jika seseorang haji dengan dua niat ihram (dua badal) maka hukumnya tidak sah.”
3. Orang yang Digantikan Berkecukupan Biaya Haji
Orang yang digantikan hajinya adalah karena telah cukup biaya untuk ibadah haji, namun lemah fisik dan jasmaninya (sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya) atau orang tersebut sudah meninggal.
Imam Nawawi menyampaikan, “Mayoritas ulama mengatakan bahwa menghajikan orang lain itu diperbolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.”
4. Harta Milik Orang yang Dihajikan
Harta yang digunakan untuk membiayai orang yang menghajikannya adalah milik orang yang dihajikan tersebut, atau sebagian besar miliknya.
5. Izin Orang yang Dihajikan
Sebagian ulama berpendapat bahwa harus ada izin atau perintah dari orang yang dihajikan. Namun, ulama lain seperti Syafi’i dan Hambali memperbolehkan untuk menghajikan orang lain secara sukarela, seperti anak kepada orang tuanya yang sudah meninggal.
Leave a Review