INDONESIA adalah negara bhinneka dengan beragam agama, bahasa, suku, adat, dan juga budayanya. Namun realitanya, keberagaman sering kali diartikan sebagai suatu yang berbeda dan mengakibatkan konflik antar kelompok. Misalnya saja yang kerap kali terjadi adalah konflik yang dipicu oleh fanatisme dalam beragama. Sikap fanatisme yang tinggi terhadap suatu kelompok atau golongan, bisa memicu timbulnya kelompok-kelompok radikal dan intoleran.
Sikap fanatisme baik secara sadar maupun tidak, telah menjadi semacam pembenaran suatu tindakan ke arah negatif. Pengharaman atas wisata ke Candi Borobudur adalah sejumput contoh betapa kerdilnya sikap orang yang dalam hatinya bersemayam fanatisme dalam beragama. Bahkan, yang lebih ekstrem lagi, sifat fanatisme agama ini berdampak pada seseorang yang mengidapnya menjadi brutal, bengis, dan menghalalkan kekerasan berkedok agama.
Perlu diketahui sikap fanatisme agama ini juga merupakan salah satu asal-muasal seseorang menjadi radikal dan berlaku teror. Banyak dari mereka yang dengan mudah mengafirkan golongan lainnya. Seolah hanya mereka yang benar dan lainnya salah. Kata “bidah” adalah senjata yang sering kali dilontarkan oleh mereka kepada kelompok yang tidak sepemahaman.
Sikap fanatisme agama itulah yang sangat meresahkan, mengingat biasanya juga disisipi dengan kata-kata kasar, ujaran kebencian, caci maki, dan provokasi. Belum lagi pemahaman makna jihad mereka yang sesat. Bahkan menurut mereka darah orang kafir adalah halal. Ini tentu sangatlah keliru dan bukan ajaran Islam. Padahal, dalam catatan sejarah Islam sendiri selalu mengajarkan untuk menebar kasih sayang kepada semua ciptaan Allah SWT, tak pandang agamanya apa.
Mungkin mereka lupa atau barangkali buta sejarah, bahwa masuknya Islam di Nusantara, khususnya di Tanah Jawa berkat kejeniusan dari Walisongo dalam berdakwah yang ramah dan rahmah. Corak dakwah Walisongo jauh dari kata fanatisme agama yang sempit. Walisongo tetap menghidupi kearifan lokal yang menjadi khazanah budaya. Bahkan, menggunakannya sebagai media berdakwah, sebagaimana dakwahnya Sunan Kalijaga lewat wayang.
Di era Revolusi Industri 4.0, kran sikap fanatisme agama semakin terbuka lebar, mengucur deras, dan mudah ditemukan lewat jejak-jejak media online atau media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan YouTube. Sayangnya di era populisme media ini agama belum mempunyai kaidah yang simultan mengenai kehidupan virtual. Meskipun di Indonesia sudah ada UU ITE, tetapi belum ada fikih yang secara eksplisit berbicara tentang internet dan dan bagaimana manusia harus bertindak di dalam dunia maya dengan cara yang sangat spesifik.
Karenanya pembunuhan karakter, pelanggaran identitas, kekerasan, dan bahkan agresi terhadap kelompok-kelompok agama menjadi konsumsi informasi saban harinya, termasuk di dunia maya. Di level ini, kelompok-kelompok fanatisme keagamaan acap kali menggunakan media sebagai jargon sekaligus alat penyebaran ideologi mereka untuk sebagai magnet penyedot follower yang biasanya menyasar ke generasi milenial.
Dalam kondisi seperti ini, sudah seharusnya generasi milenial yang lekat dengan dunia digital harus sadar untuk tidak terbius oleh doktrin para pengasong fanatisme agama yang biasanya dilakukan oleh para kaum fundamentalis atau pun jaringan Islam radikal. Merespons problem ini, menjadi penting saat ini para ulama moderat menggandeng kader dai milenial untuk menggiatkan kontra fanatisme agama di media sosial. Hal ini tentunya sangat strategis untuk menggebuk kehadiran doktrin fanatisme agama di dunia maya.
Oleh karena itu, penting digencarkan berbagai program menanamkan moderasi Islam dan nilai-nilai Pancasila baik oleh elemen instansi kementerian agama, tokoh-tokoh agama, maupun organisasi keagamaan. Terlebih juga dai milenial moderat yang menyasar melalui kanal-kanal digital seperti media sosial. Hal ini selain untuk mengimbangi sebagai kontra-fanatisme di era populisme agama, juga menginternalisasikan sekaligus menampilkan wajah Islam yang sebenarnya yang jauh dari kata fanatisme, radikalisme, dan terorisme.
Peningkatan intensitas dakwah agama oleh segmen dai milenial moderat ini akan membawa dua harapan, pertama, sebagai sumber belajar agama alternatif yang mana menghindari berbagai dampak buruk imbas fanatisme agama yang lebih parah lagi seperti intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Kita juga bisa belajar agama dari sumber yang punya otoritas untuk mengajarkannya.
Kedua, keterlibatan dai milenial moderat atau pun tokoh-tokoh agama dalam kajian-kajian Islam di dunia maya ini diharapkan dapat mengembalikan wajah Islam Indonesia yang lebih ramah. Karena hanya dengan Islam yang rahmatan lil ‘alamin akan dapat membawa kehidupan yang maju dan berkeadaban. Hati-hatilah dengan media sosial!
Leave a Review