Kabarumat.co – Bagaimana pandangan Islam perihal status hukum pernikahan seseorang dengan iparnya sendiri? Perlu diketahui bahwa menikahi ipar atau saudara perempuan seorang istri, baik disebabkan keturunan maupun disebabkan persusuan (radha) dalam Islam tidak dibenarkan dan hukumnya haram, karena terdapat nash dari Al-Qur’an yang dengan tegas melarang tindakan tersebut. Dalam surat An-Nisa’ Allah swt berfirman:
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوراً رَحِيماً
Baca Juga Hukum Pria Memakai Mas Campuran Artinya: “Dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS An-Nisa: 23)
Menjelaskan ayat di atas, Imam Abu Muhammad Husain bin Mas’ud Al-Baghawi (wafat 516 H) dalam kitab tafsirnya, mengatakan, laki-laki tidak boleh menikahi iparnya, atau menikahi dua perempuan bersaudara, baik persaudaraan antara keduanya disebabkan nasab (keturunan) atau disebabkan radha (persusuan), Baca Juga Hukum Shalat Hadiah yang Diselenggarakan Keluarga Mayat.
لَا يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ فِي النِّكَاحِ سَوَاءٌ كَانَتْ الأُخُوَّةُ بَيْنَهُمَا بِالنَّسَبِ أَوْ بِالرَّضَاعِ
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi seorang laki-laki mengumpulkan dua saudara dalam pernikahan, baik persaudaraan antara keduanya disebabkan keturunan maupun disebabkan susuan.” (Al-Baghawi, Tafsiru Ma’alimit Tanzil, [Darut Thaibah: 1997], juz II, halaman 191)
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Imam Ahmad Salamah Al-Qalyubi. Ia mengatakan bahwa haram hukumnya bagi laki-laki untuk menikahi wanita dan saudaranya, bibinya, atau saudara perempuan istrinya dari jalur ibu. Dalam kitabnya, ia mengatakan:
وَيَحْرُمُ جَمْعُ الْمَرْأَةِ وَأُخْتِهَا أَوْ عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا مِنْ رَضَاعٍ أَوْ نَسَبٍ
Artinya: “Dan haram mengumpulkan seorang wanita dan saudarinya dalam suatu pernikahan, juga (haram) mengumpulkannya dengan bibinya dari jalur ayah atau bibinya dari jalur ibu, baik disebabkan persusuan ataupun keturunan.” (Al-Qalyubi, Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 245)
Status keharaman menikahi ipar berlaku dalam semua praktik akad, baik yang dilakukan secara bersamaan, maupun yang dilakukan secara berurutan. Misal untuk kasus pertama, laki-laki menikah dengan dua wanita yang bersaudara dengan satu akad. Sedangkan kasus kedua seperti laki-laki menikahi wanita, kemudian di waktu yang berbeda dia menikah dengan adik atau kakak dari istrinya (ipar) dalam kondisi wanita pertama masih berstatus sebagai istrinya.
Dua contoh di atas memiliki hukum berbeda. Kasus pertama sama-sama tidak sah keduanya. Artinya, masing-masing dari kedua wanita yang dinikahi atau salah satunya tidak berstatus sebagai istrinya. Sedangkan untuk kasus kedua, akad yang pertama statusnya sah, sedangkan akad yang kedua tidak sah. Demikian ini sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad Zuhri Al-Ghamrawi. Ia mengatakan:
وَيَحْرُمُ جَمْعُ الْمَرْأَةِ وَأُخْتِهَا أَوْ عَمَّتِهَا أَوْ خَالَتِهَا مِنْ رَضَاعٍ أَوْ نَسَبٍ فَاِنْ جَمَعَ بِعَقْدٍ بَطَلَ نِكَاحُهُمَا أَو مُرَتبًا فَالثَّانِي بَاطِلٌ دُوْنَ الْأَوَّلِ
Artinya: “Haram mengumpulkan wanita dan saudarinya atau bibinya dari jalur ayah atau bibi dari jalur ibu, baik (saudara) disebabkan persusuan atau disebabkan nasab. Jika ia mengumpulkan dengan satu akad, maka batal kedua pernikahannya, atau (jika akadnya dilakukan dengan berurutan), maka akad yang kedua statusnya batal, bukan yang pertama.” (Al-Ghamrawi, As-Sirajul Wahhaj ‘ala Matnil Minhaj, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], halaman 374).
Jika ditanya, “Lantas bagaimana solusinya?” Dalam konteks ini, tidak ada solusi yang bisa menjadi penyebab kebolehan menikahi ipar, kecuali dengan tertalaknya istri dengan talak bain, yaitu talak yang tidak bisa dirujuk sekalipun istri yang ditalak masih dalam masa-masa idah. Jika demikian, suami boleh menikah dengan ipar, baik kakak atau adik istri. Demikian dijelaskan oleh Syekh Syamsuddin Muhammad bin Ahmad As-Syirbini. Ia mengatakan:
فَإِذَا نَكَحَ اِمْرَأَةً ثُمَّ طَلَقَهَا بَائِنًا جَازَ لَهُ نِكَاحُ أُخْتِهَا
Artinya: “Jika seseorang menikahi wanita, kemudian menalaknya dengan talak bain, maka boleh baginya untuk menikahi saudarinya (ipar).” (Syekh As-Syirbini, Tafsir As-Sirajul Munir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah, tt], juz I, halaman 237) Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa status pernikahan dengan ipar adalah haram dan pernikahannya tidak sah (batal), sehingga statusnya tidak menjadi suami istri. Baik akad nikah dilakukan secara bersamaan atau pun secara bergantian.
Hanya, jika dilakukan secara bersamaan antara keduanya, maka akadnya sama-sama batal. Namun jika dilakukan dengan bergantian, maka akad kedua yang tidak sah. Wallahu a’lam bisshawab.
Sunnatullah (Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur).
Kenali Kami Lebih Dekat
Assalamu Alaikum Akhi Ukhti!! Selamat datang di Kabar Umat
Kami hadir setiap saat untuk menyampaikan berita terpercaya serta wawasan keislaman, keindonesiaan dan kebudayaan hanya buat Akhi Ukhti. Bantu sukseskan Visi kami satukan umat kuatkan masyarakat dengan cara share konten kami kepada teman-teman terdekat Akhi Ukhti !