Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Bangkit Bersama Melawan Radikalisme dan Memusnahkan Ekstremisme

Bangkit Bersama Melawan Radikalisme dan Memusnahkan Ekstremisme

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional kemarin mengusung tema “Ayo Bangkit Bersama”. Tema itu tidak secara spesifik menyebut bangkit dari apa. Itu artinya kita bisa menafsirkannya dari beberapa sisi. Dari sisi sosial dan ekonomi, frasa “bangkit bersama” bisa dimaknai sebagai ajakan untuk pulih. Dari sisi politik, bangkit dari keterpurukan bernama radikalisme dan ekstremisme?

Dua tahun lamanya kita dihantam pandemi yang berdampak signifikan pada kondisi ekonomi kita. Banyak bidang usaha harus terdampak, bahkan gulung tikar. Konsekuensinya, PHK massal pun tak terelakkan. Inilah waktunya kita bangkit bersama. Menata kembali kehidupan pasca pandemi dan mewujudkan impian yang sempat tertunda.

Dari sisi politik, tema bangkit bersama kiranya bisa dipahami sebagai ajakan untuk melakukan konsolidasi demokrasi. Seperti kita tahu, dalam beberapa tahun belakangan ini demokrasi kita didominasi oleh politik kotor. Mulai dari politik uang, politik identitas dan politisasi agama. Praktik politik kotor itu tidak pelak telah melahirkan segregasi sosial dan polarisasi politik yang tajam di level akar rumput.

Praktik politik kotor juga berdampak pada maraknya fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian di ruang publik kita. Jika dibiarkan, kondisi itu akan melahirkan perpecahan bahkan konflik yang lebih besar.

Dari sisi politik, frasa bangkit bersama hendaknya dipahami sebagai ajakan untuk mengembalikan khittah demokrasi Pancasila. Yakni demokrasi yang berlandaskan pada etika politik dan moralitas kebangsaan.

Sedangkan dari sisi keagamaan, tema Ayo Bangkit Bersama bisa ditafsirkan sebagai sebuah seruan untuk menghalau setiap paham dan gerakan intoleran, radikal, ekstrem, dan teror.

Masifnya paham intoleran, radikal, ekstrem, dan teror yang disebarkan oleh gerakan transnasioal berkedok keagamaan harus diakui telah melunturkan spirit nasionalisme anak bangsa.

Infiltrasi paham transnasional dalam banyak hal telah menggerus imajinasi kebangsaan kita. Alhasil, bangsa ini seolah kehilangan orientasi terkait visi dan misinya ke depan.

Dalam pandangan Arundati Roy, sebuah bangsa yang kehilangan orientasinya karena lemahnya ideologi akan menemui beragam krisis. Mulai dari krisis sosial, politik, hingga agama.

Ancaman krisis akibat lemahnya ideologi itulah yang saat ini menghantui bangsa kita. Di lapangan kita lihat sendiri bagaimana propaganda anti-nasionalisme digencarkan oleh para penyokong gerakan radikal-ekstrem.

Di level konstitusional, muncul suara-suara sumir yang menggugat kembali legalitas Pancasila sebagai ideologi bangsa. Padahal, seperti kita tahu, Pancasila dan NKRI ialah bentuk final yang tidak bisa direvisi.

Di level sosial-politik, ada upaya sistematis untuk melemahkan kepercayaan publik pada negara dan pemerintahan yang sah. Di saat yang sama ada upaya membenturkan antara masyarakat dan pemimpin melalui serangkaian hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.

Sedangkan di ranah kultural, muncul gerakan untuk menghapus kearifan lokal Nusantara dan menggantinya dengan segala sesuatu yang berbau kearab-araban. Muncul klaim bahwa budaya asli Nusantara bertentangan dengan agama (Islam).

Semua serangan dari segala arah itu akan tertolak dengan sendirinya manakala kita sebagai anak bangsa memiliki komitmen pada nasionalisme. Untuk itu, momen Harkitnas ini idealnya mampu mendongkrak spirit nasionalisme kita. Utamanya dalam konteks membendung arus ideologi transnasional berwatak intoleran dan radikal.

Harkitnas harus menjadi momentum untuk menumbuhkan nasionalisme di satu sisi dan melawan radikalisme di sisi lain. Di titik ini, kita harus mewarisi semangat para pendahulu yang rela melepaskan ego primordial demi memperjuangkan kepentingan nasional.

Hari ini, generasi bangsa utamanya kaum muslim dihadapkan pada tantangan untuk mencari titik temu antara perspektif keagamaan dan kebangsaan. Kita harus mencari cara bagaimana mengelola ekspresi keagamaan tanpa melanggar komitmen kebangsaan. Pendek kata, bagaimana kita tetap religius di satu sisi sekaligus nasionalis di sisi lain.

Menyelaraskan antara aspek keagamaan dan komitmen kebangsaan tentu bukan perkara mudah. Namun, hal itu tentu juga bukan sebuah kemustahilan. Di titik ini kita perlu meneladani generasi muda angkatan 1928 yang mampu menyelaraskan antara primordialisme dengan nasionalisme.

Hari ini kita wajib mencari titik temu antara religiuisme dengan nasionalisme. Dengan begitu, bangsa ini akan steril dari intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Advertisements