Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Arus Puritanisme Agama dan Dakwah Kultural

Arus Puritanisme Agama dan Dakwah Kultural

Secara keseluruhan, wajah Islam Indonesia sebenarnya ramah terhadap kebinekaan dan kearifan lokal. Maka dari itu, peristiwa penendangan sesajen yang viral tempo hari bisa dibilang sebagai sebuah anomali. Jika dilacak lebih dalam, kaus penendangan sesajen itu merupakan sinyalemen kian menguatnya puritanisme agama di tubuh Islam.

Puritanisme agama secara sederhana dapat dipahami sebagai paham atau gerakan yang menghendaki pemurnian alias sterilisasi ajaran agama dari pengaruh luar, baik itu budaya, adat, tradisi, maupun kearifan lokal (local genius) yang berkembang di masyarakat. Di dalam Islam, puritanisme agama ini tampak dalam gerakan yang cenderung menolak akulturasi antara Islam dan budaya lokal.

Dalam konteks Indonesia, puritanisme di tubuh Islam mewujud pada sikap kalangan konservatif yang anti pada kelompok Islam kultural, terutama kalangan Nahdliyin. Dalam pandangan kaum puritan, ritual keagamaan kalangan NU dianggap menyimpang, bagian dari bid’ah bahkan sesat, karena bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam perkembangannya, puritanisme agama ini juga mewarnai panggung dakwah Islam hari ini.

Tidak Sepele

Maka, menjadi tidak mengherankan jika banyak pendakwah yang tidak segan melabeli ritual keagamaan seperti tahlilan, yasinan, selametan, dan sebagainya sebagai bid’ah. Hal itu tidak diragukan telah menimbulkan polemik bahkan perpecahan di kalangan umat itu sendiri. Bagaimana tidak? Puluhan bahkan ratusan tahun umat Islam Indonesia adaptif pada budaya dan kearifan lokal. Namun, tiba-tiba ada segelintir kalangan yang menuduhnya sesat, bahkan kafir.

Puritanisme agama tidak bisa dipandang sepele. Puritanisme merupakan akar dari radikalisme dan ekstremisme beragama. Dengan logika yang sama, kita juga tidak bisa memandang enteng kasus penendangan sesajen. Tindakan itu tidak lain merupakan bagian dari tindakan intoleransi dan kekerasan agama. Maka, urgen kiranya membendung arus puritanisme agama.

Salah satunya melalui dakwah kultural. Yaitu, dakwah yang ramah dan adaptif pada nilai budaya dan kearifan lokal. Dakwah kultural dimaksudkan sebagai upaya untuk memahami dan menggunakan potensi-potensi kultural masyarakat Islam sebagai wahana untuk menanamkan Islam yang membumi, yakni Islam yang bisa mengubah potensi menjadi gerak kemajuan sosial.

Dakwah kultural meniscayakan adanya usaha pembauran dengan kelompok lain tanpa harus dihantui perasaan hipokritikal dan mengangkangi kesetiaan terhadap “akidah”. Namun dakwah kultural dimaksudkan untuk membangun nuansa harmonis dengan mozaik bangunan budaya kelompok lain. Semangat Islam adalah semangat substantif yang lebih mementingkan isi dibanding wadah. Sebagaimana Islam dapat diekspresikan melalui berbagai wahana dan simbol.

Strategi yang Tepat

Keberhasilan dakwah kultural ini mensyaratkan setidaknya dua hal. Pertama, kesediaan kita untuk meninggalkan kesan elitisme Islam. Selama ini ada kesan bahwa yang disebut Islam hanyalah kelompok yang mengadaptasi simbol budaya kearaban, baik itu dalam hal berbusana, berbahasa, atau gaya hidup lainnya. Semakin tampak kearab-araban, biasanya akan semakin dianggap islami.

Padahal, Islam ialah agama yang universal, alih-alih eksklusif. Islam tidak hanya identik dengan budaya dan tradisi Arab. Ekspresi keimanan dan kesalehan Islam idealnya juga tidak hanya mewujud ke dalam simbol budaya masyarakat Arab. Sebaliknya, ekspresi kesalehan Islam bisa direpresentasikan ke dalam seluruh simbol budaya yang ada di seluruh dunia. Tidak terkecuali budaya Nusantara.

Kedua, keberanian kita untuk mendekonstruksi hukum Islam (fikih). Selama ini ada anggapan, terutama di kalangan muslim puritan, bahwa fikih ialah sesuatu yang absolut, alias tidak berkembang secara dinamis. Konsepsi fikih yang diproduksi oleh ulama abad pertengahan dianggap berlaku sepanjang zaman dan di semua wilayah dunia Islam. Padahal, sejatinya fikih ialah produk pemikiran yang dilatari oleh situasi zaman dan tempat tertentu. Itu artinya, fikih idealnya dipahami secara cair dan dinamis.

Dekonstruksi fikih itu diperlukan manakala Islam mau tidak mau bertemu dengan realitas sosial-budaya yang berbeda. Misalnya dalam konteks Indonesia ketika ajaran Islam dihadapkan pada budaya dan kearifan lokal yang beragam. Dalam konteks keindonesiaan, kita membutuhkan kerangka hukum Islam yang bisa mengakomodasi eksistensi budaya dan kearifan lokal masyarakat.

Tantangan dakwah kultural saat ini ialah merumuskan strategi yang tepat dan efektif. Terutama di tengah arus deras puritanisme agama yang mengepung dari berbagai sisi. Namun, kita idealnya tidak perlu pesimistis. Secara umum, wajah Islam Indonesia masih menampakkan kecenderungan ramah pada budaya dan kearifan lokal. Keberadaan dua ormas Islam besar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama merupakan pilar dari pengejawantahan Islam kultural. Tinggal bagaimana dua ormas itu bisa menjadi motor penggerak dakwah kultural yang relevan di era kontemporer ini.

Desi Ratriyanti pemerhati isu sosial-keagamaan, alumni Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum