Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Ancaman NKRI: Dari Penceramah Radikal Hingga NII

Ancaman NKRI: Dari Penceramah Radikal Hingga NII

Beberapa hari yang lalu, khalayak publik dihebohkan dengan pidato Presiden Jokowi dalam Rapim TNI-Polri yang menginstruksikan larangan mengundang penceramah radikal. Sentilan presiden kepada para prajurit tersebut ternyata tak hanya bergulir di kalangan TNI-Polri, melainkan juga di masyarakat umum. Bahkan sempat bergulir tanggapan tentang tolok ukur seorang penceramah dikatakan radikal. Pihak yang tidak setuju banyak, dan MUI juga masuk di antaranya.

Padahal, instruksi presiden tersebut memiliki alasan serius. Penceramah radikal adalah term pragmatis yang menggertak, sementara esensinya adalah presiden memperingatkan TNI-Polri bahwa sebagai benteng pertahanan negara, TNI-Polri harus peka dan gerak cepat terhadap ancaman untuk negara: indoktrinasi radikalisme. Faktanya memang ceramah-ceramah konfrontatif yang lahir dari segelintir ustaz radikalis tidak bisa disepelekan. NKRI taruhannya.

HTI punya ustaz yang jadi promotor khilafah. PKS juga demikian. Salafi apalagi, yang sangat masif bergerak dari mimbar ke mimbar, masjid ke masjid, memenangkan hati para selebritas dan influencer, mengarungi banyak bisnis syariah dengan jargon pemurnian akidah, dan semacamnya. Sang aktor, para penceramah itu, benar-benar meresahkan dan jadi ancaman bagi NKRI, di samping ancaman lain yang antara lain, yang terkini, ialah Negara Islam Indonesia (NII).

Temuan fakta oleh Densus 88 bahwa jaringan teroris NII di Sumatra Barat merekrut anak di bawah umur mengejutkan banyak pihak. KPAI merespons, mendesak aparat segera mengidentifikasi para korban karena anak-anak merupakan harapan masa depan bangsa. Adalah buruk jika generasi masa depan bangsa ini tidak cinta tanah air. Alih-alih memiliki jiwa nasionalisme, justru membencinya dan mencitakan pemberontakan. Jangan sampai itu terjadi.

NKRI memiliki sejarah mencekam tentang pemberontakan umat Islam di masa kemerdekaan. NII, yang pertama kali terbentuk di daerah Tasikmalaya oleh Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949, memiliki gerakan yang dinamakan Darul Islam (DI), dan tentaranya disebut Tentara Islam Indonesia (TII).

Namun demikian, idealnya, Kartosoewirjo mendirikan NII bukan untuk melakukan pemberontakan atau menyebabkan terjadinya disintegrasi nasional.  NII berdiri karena pada tahun 1948 Indonesia terikat dengan Perjanjian Renville yang membuat Jawa barat masuk ke dalam bagian wilayah Belanda. Kesepakatan tersebut menimbulkan awal kekecewaan rakyat terhadap pemerintah, yang disusul dengan pemberontakan di beberapa daerah.

Pertama-tama, NII makar di Jawa Barat, tempat organisasi teroris tersebut didirikan. Kartosoewirjo menuntut penerapan syariat Islam kaffah melalui Darul Islam, memberontak pemerintahan Soekarno yang sedang lengah setelah Perjanjian Renville—NII menganggap persekongkolan dengan Belanda harus dilawan.

Pada tahun 1953, tokoh terkemuka dari Aceh, Daud Beureuh, mendeklarasikan wilayahnya sebagai bagian dari NII, dan ingin mengembalikan otonomi Provinsi Aceh serta menegakkan syariat Islam. Di beberapa daerah lain, NII juga melakukan pemberontakan, terkenal dengan pemberontakkan DI TII Ibnu Hajar, pemberontakan DI TII Kahar Muzakkar, dan pemberontakan DI TII Amir Fatah.

Hari ini, ketika NII terdeteksi tengah melakukan i’dad untuk melakukan makar di masa depan, bukankah ancaman terhadap NKRI semakin besar? Berapa ideologi yang memusuhi NKRI dan Pancasila dan bercita-cita mendirikan Darul Islam? Dan yang paling penting, sekuat apa negara ini menghadapi gempuran makar mereka semua?

Sedangkan pada saat yang sama, semakin hari, krisis di NKRI semakin tampak. Minyak goreng langka dan BBM naik, korupsi meraja lela, dan bahkan sebagian masyarakat menganggap oligarki semakin berani beraksi terang-terangan. Dengan kata lain, pemerintah memiliki problemnya sendiri, yang bisa dipelintir untuk menyerukan masyarakat bahwa “Islamlah solusinya” melalui penegakan khilafah dan perombakan sistem pemerinthan.

Karenanya, kitalah satu-satunya harapan negara. Ideologi bangsa harus tetap dijaga, dan seluruh elemen mesti pasang badan untuk melawan ancaman terhadap NKRI ini. Agenda kontra-radikalisasi nasional meliputi kontra-ideologi, kontra-narasi, dan kontra-propaganda harus senantiasa digalakkan. Selama ini, Harakatuna sudah on the track untuk melawan ancaman terhadap NKRI dan merawat ideologi bangsa. Ancaman ini begitu nyata dan tidak bisa lagi diabaikan.

Penceramah radikal dan NII adalah dua contoh dari banyak ancaman NKRI lainnya. Mari kita senantiasa konsisten untuk melawan ancaman-ancaman tersebut. Harakatuna menunggu tulisan para intelektual muda untuk ikut menyuarakan perlawanan terhadap segala ancaman bangsa tercinta, Indonesia.

Advertisements