Kabarumat.co – Momentum Pemilihan Presiden (Pilpres) sepatutnya dijadikan sebagai agenda membangun bangsa yang lebih baik kedepannya. Bisakah para elite membumikan sikap berbaik sangka kepada sesama anak bangsa demi menghadirkan kemaslahatan yang lebih besar? Soal selera pilihan bisa saja berbeda-beda.
Sepertinya sulit terwujud kalau saja para tokoh yang diharapkan dapat menjadi pengayom umat justru memantik keriuhan berbasis sentimen di tengah masyarakat. Apakah Pilpres kali ini akan terjebak kembali dalam persoalan begitu-begitu saja, hingga mengaburkan ide dan gagasan dari masing-masing pasangan calon (paslon)?
Beberapa waktu lalu terjadi pro-kontra di tengah masyarakat terkait dengan pernyataan dari Sekjen PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang meminta warga NU untuk tidak memilih capres yang didukung oleh Abu Bakar Baasyir, meskipun kemudian sudah dibantah oleh Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, bahwa itu merupakan pendapat pribadi bukan sikap organisasi.
Lantas, kenapa ucapan tersebut harus keluar dari tokoh yang melekat jabatan sebagai salah satu pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia? Jangan salahkan publik jika menilainya terkesan mendiskreditkan salah satu paslon, pada saat yang sama nampak memihak kepada salah satu paslon tertentu. Padahal Gus Yahya sendiri selalu menegaskan PBNU netral, mengambil jarak, serta tidak terlibat dalam urusan pilpres.
Ormas Islam: Sebuah Pilar Bangsa
Dulu sering mendengar antar sesama ormas Islam memperdebatkan seputar perbedaan “dalil” yang kadang dibesar-besarkan. Sekarang sudah tidak lagi mempermasalahkan soal qunut, tahlilan, yasinan maupun tradisi-tradisi kultural lainnya.
Gagasan pemikiranya sudah pada tatanan yang lebih tinggi, untuk mengambil peran dan terlibat secara langsung dalam isu-isu kemanusiaan, lingkungan hidup, hingga soal perdamaian dunia.
Sayangnya, semangat yang besar tersebut seakan terkerdilkan oleh ucapan-ucapan yang inkonsisten dari para tokoh, hanya karena keberpihakan kepada salah satu paslon tertentu, misalnya. Antara apa yang diucapkan di depan publik (netral, netral, netral) ternyata kontraproduktif dengan perbuatan yang dilakukan.
Dari pada menimbulkan presepsi di publik soal keberpihakan, rasanya kalau PBNU berkenan mengundang ketiga paslon untuk diuji gagasannya pasti semakin menarik dan seru, biarkanlah para jamaah yang menilainya. Sebelumnya Muhammadiyah juga telah memberikan ruang uji publik untuk ketiga pasangan capres-cawapres. Pola-pola seperti itu menjadi sebagai upaya turut serta mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah adalah menjadi pilar kebangsaan. Seperti kata Cak Nur, keduanya bagai sepasang sayap yang membuat bangsa ini berjalan seimbang serta membawanya terbang tinggi dalam peradaban. Jika salah satu atau keduanya patah bagaimana nasib masa depan bangsa Indonesia? kalau-kalau mereka sebagai salah satu kekuatan civil society justru terjebak dalam politik praktis semata.
Gus Nadir pun turut berpesan melalui sebuah tayangan podcast, bahwa tugas PBNU adalah membimbing umat, merawat kebangsaan hingga merawat psikologis anak bangsa setelah Pilpres selesai dilaksanakan. Peran-peran penting tersebut menjadi gagal dimainakan oleh PBNU apabila justru terlibat dalam politik praktis.
Berbaik Sangka Sesama Anak Bangsa
Setiap orang memiliki pilihan yang berbeda, kita semua juga memiliki preferensi masing-masing. Justru di tengah perbedaan itu setiap paslon saling diuji gagasannya, bukan dengan alasan sentimen ketidaksukaan semata.
Jika dibandingkan dengan beberapa pilpres sebelumnya, kini masyarakat diberikan sedikit lebih banyak pilihan calon. Model-model kampanye hitam perlahan mulai ditinggalkan, sebaliknya mulai banyak beberapa pihak; mulai dari instansi kelembagaan, komunitas, organisasi masyarakat sipil hingga beberapa kampus (kalau di kampus PTKI sudah belum ya?), – telah memberikan ruang untuk saling bertukar gagasan antar masing-masing paslon.
Sosok seperti Abu Bakar Ba’asyir perlu juga dihormati hak politiknya. Perasaan berbaik sangka perlu ditanamkan oleh semua pihak. Keikusertaanya terhadap proses pemilu bisa menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan progam deradikalisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah.
Para tokoh masyarakat, tokoh agama, para ulama memiliki kedudukan yang terhormat untuk mengayomi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Agar supaya cara berbangsa kita tidak terus-terusan dibangun dengan penuh kecurigaan, sementara masih banyak persoalan-persoalan mendasar dan harapan kedepan yang perlu dikerjakan bersama-sama oleh seluruh anak bangsa.
Oleh Nor Kholis (Peminat Kajian Keislaman dan Kebudayaan).
Leave a Review