Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Dokter Sunardi dan Kamuflase Teroris, Mengapa Dibela?

Dokter Sunardi dan Kamuflase Teroris, Mengapa Dibela?

Segera setelah mendengar kabar penembakan dr. Sunardi, oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri, di Desa Gayam, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (9/3) lalu, saya menghubungi seseorang yang dekat dengan Kepala Densus 88. Saya berharap menemukan titik terang, sebelum berkomentar. Jujur saja, semua orang pasti jengkel jika nyawa dipermainkan. Namun, buru-buru mencemooh satu pihak jelas tidak baik, apalagi dr. Sunardi tersangka teroris.

Secara kronologis sudah banyak dijelaskan di koran-koran, bahwa dr. Sunardi ditembak karena melawan petugas ketika hendak ditangkap. Ia ditetapkan sebagai tersangka teroris Jemaah Islamiyah (JI), sekaligus penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI), organisasi filantropis yang berpartisipasi membiayai, merencanakan, mempersiapkan, mendukung, merekrut, dan memfasilitasi segala kegiatan JI, yang terafiliasi dengan Al-Qaeda.

Terlepas dari kabar bahwa keluarga dr. Sunardi menyangkan penembakan oleh Densus 88, dan berencana menempuh jalur hukum, kasus tersebut berada dalam koridor kontra-terorisme. Karena itu, masyarakat tidak boleh termakan oleh propaganda teroris, sehingga seolah mendukung mereka. Masyarakat juga mesti waspada dengan pelintiran kebencian, bahwa segelintir pihak memanipulasi kasus ini seolah Islam di Indonesia sedang diperangi.

Untuk melihat kasus dr. Sunardi, penting untuk paham tentang taktik kamuflase teroris. Tidak ada orang yang bergelut di dunia terorisme, atau tergabung kelompok teroris, atau menjadi teroris, yang secara terang-terangan mengaku bahwa ia teroris. Kecuali orang tersebut kurang akal. Teroris memiliki taktiknya sendiri, dan bermain dengan propaganda tertentu. Jadi penting di awal untuk dipahami, melihat dr. Sunardi dari kacamata kamuflase teroris adalah niscaya.

Sunardi dan Terorisme

Sepak terjang kelompok teror di Indonesia tidak bisa disamakan dengan yang ada di negara lain, seperti Afghanistan dan Suriah. Artinya, meskipun JI merupakan afiliasi Al-Qaeda, gerakan mereka tidaklah sama. Faktornya beragam, seperti perbedaan iklim politik, sosial dan keagamaan. Adalah mustahil bagi JI untuk bergerilya sebagaimana Al-Qaeda di Afghanistan atau Jabhah an-Nusrah di Suriah. Di negara ini, pemerintah sangat ketat, sehingga pola gerakan buruh penyesuaian.

Maka ketika Sugik Nur membantah keterlibatan dr. Sunardi dengan terorisme, dengan bertanya seberapa banyak ia membunuh dan tempat mana saja yang ia bom, bantahan tersebut jelas bentuk kebodohan. Sama kelirunya dengan anggapan bahwa hari ini tengah terjadi pembumihangusan Islam, dan sama lugunya ketika berdalih bahwa dr. Sunardi rajin shalat, baik, dan mustahil jadi teroris. Ini wajib masyarakat pahami: di antara Sunardi dan terorisme ada yang namanya ‘kamuflase’.

Satu sisi, terorisme memiliki landasan teologis yang terdengar saleh. Mereka mengklaim diri sebagai kelompok yang paling berpegang teguh pada Al-Qur’an dan hadis. Di sisi yang lain, teroris selalu bergerilya di bawah tanah. Yang kelihatannya ketua Yayasan, bisa jadi aslinya ia teroris. Yang luarnya guru ngaji, guru sekolah, dokter, bahkan ternak lele pun, bisa jadi aslinya ia aktif dalam terorisme. Kamuflase dipakai untuk mengelabui: menyamarkan gerakan dan menggaet partisipan.

Bahwa dr. Sunardi memang teroris, selain mengacu pada jurus kamuflase terorisme, bisa juga dilihat melalui fakta umum bahwa Densus 88 mustahil bergerak menyergap tanpa kajian serius sebelumnya. Para teroris di negara ini terlacak secara bertahap dengan kajian dan data intelijen yang rinci. Para aparat tidak akan bergerak gegabah. Artinya, persentase salah tangkap adalah nol. Lagi pula, jika bukan teroris, mengapa dr. Sunardi melawan ketika disergap?

Siapa yang Nyinyir?

Muara dari kasus dr. Sunardi adalah ini: mengapa Densus 88 jadi sasaran cemoohan dan mengapa dr. Sunardi justru banyak yang membela. Untuk mengungkap fakta tersebut, saya mengindentifikasi lima hal. Pertama, aktor nyinyir itu-itu saja alias oposisi rezim. Fadli Zon, para aktivis PA 212, para aktivis khilafah, atau ustaz amoral seperti Sugik Nur. Sebenarnya bukan dr. Sunardi yang membuat mereka bersuara, melainkan murni untuk merecoki keadaan dengan mencemooh rezim.

Kedua, hentakan gerilya Densus 88. Dua hari sebelum dr. Sunardi, Densus 88 juga menangkap teroris di NTB. Jauh sebelum itu juga, penangkapan juga terjadi di Lampung. Yang menarik adalah, gerilya kontra-terorisme tidak peduli dengan iklim politik, artinya secara kontinu menghentak terorisme bagaimana pun keadaannya. Sehingga tidak heran, sebagian partisan menganggap penangkapan teroris sebagai pengalihan isu, ketika di saat yang sama juga ada kasus semisal korupsi.

Ketiga, politik rezim. Seseorang mengatakan, beberapa usaha kontra-terorisme terhambat oleh iklim politik di negara ini. Kasus korupsi terutama, yang hari-hari ini merebak, adalah pengacau utama. Maling uang rakyat di negara ini merupakan kasus serius yang mencoreng pemerintah secara keseluruhan, sehingga kasus semacam penembakan dr. Sunardi, meski jelas-jelas ia teroris, lebih mendapat simpati masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah juga perlu segera berbenah diri.

Keempat, minimnya literasi kontra-terorisme. Persentase kontra-terorisme di Indonesia jauh tertinggal dari terorisasi itu sendiri, atau minimal radikalisasi. Masyarakat banyak dicekoki paham Wahhabi, yang bertopeng sebagai pengikut salaf, yang memoles diri sebagai Ahlussunnah. Sementara upaya mengonter terorisme berjalan lamban. Ia dianggap sebagai medan berbahaya, sehingga masyarakat buta tentang literasi kontra-terorisme. Buktinya, meski dr. Sunardi jelas teroris, mereka masih tidak percaya.

Kelima, nihilnya solidaritas kalangan moderat. Kalangan moderat hari ini, di tengah kasus dr. Sunardi, dan di tengah gencarnya serangan radikalis, itu ke mana? Kementerian Agama, misalnya, di mana perannya dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya laten terorisme sambari mengajarkan moderasi? Tidak ada. Entah sibuk dengan proyek sertifikasi halal atau lainnya, yang jelas solidaritas kalangan moderat, secara khusus dalam kasus dr. Sunardi, masih dipertanyakan.

Andai lima hal tersebut tidak menyelimuti masyarakat, mungkin dr. Sunardi tidak akan ada yang membela; sepakat bahwa ia teroris yang memang harus dilawan bahkan dilumpuhkan. Namun meski begitu, karena ia telah wafat, perlu untuk sama mendoakan: semoga dr. Sunardi diampuni dosanya, dan ditempatkan dalam rahmat-Nya. Kendati sebagai teroris ia tidak boleh dibela, sebagai Muslim ia tetap perlu didoakan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Advertisements