Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Pencaplokan De facto Tepi Barat dan Definisi Nyeleneh ‘Israel’

Pencaplokan De facto Tepi Barat dan Definisi Nyeleneh ‘Israel’

RABU, 1 Juli, dimaksudkan sebagai hari di mana ‘Israel’ secara resmi melakukan pencaplokan terhada wilayah Tepi Barat yang diduduki dan Lembah Yordania. Tanggal ini, bagaimanapun, berlalu tanpa rencana pencaplokan tersebut terealisasi.

“Saya tidak tahu apakah akan ada deklarasi kedaulatan hari ini,” Mentri Luar Negri ‘Israel’, Gabi Ashkenazi, mengatakan merujuk pada tenggat tanggal yang ditetapkan sepihak oleh Perdana Mentri Israel, Benjamin Netanyahu. Tenggat tanggal yang baru belum diumumkan oleh ‘Israel’.

Tetapi, apakah hal itu penting?

Apakah perampasan ilegal Israel atas tanah Palestina terjadi dengan keriuhan media besar-besaran dan deklarasi kedaulatan, atau apakah ia terjadi secara bertahap selama beberapa hari, minggu, dan bulan mendatang, ‘Israel’, faktanya, memang sudah mencaplok Tepi Barat – tidak hanya 30% bagiannya, pada kenyataannya, seluruh area.

Sangat penting bagi kita untuk memahami berbagai istilah seperti, ‘aneksasi’ (pencaplokan), ‘ilegal’, ‘pendudukan militer’, dan seterusnya, dalam konteks yang sesuai.

Menariknya, Israel juga menggunakan istilah ‘ilegal’ untuk merujuk pada pemukimannya, tetapi hanya untuk ‘pos-pos’ yang telah didirikan di wilayah pendudukan tanpa seizing ‘pemerintah Israel’.

Dengan kata lain, dalam kosakata Israel, sebagian besar dari semua aktivitas permukiman di Palestina yang diduduki adalah ‘legal’, sisanya hanya dapat disahkan melalui saluran resmi. Saat ini, terdapa 132 penmukiman yang dianggap legal secara sepihak oleh ‘Israel’ di Tepi Barat dan Yerusalem. Pemukiman-pemukiman tersebut menampung lebih dari setengah juta pemukim Yahudi Israel, yang mulanya dibangun sebagai ‘pos-pos ilegal’.

Meskipun logika ini mungkin memuaskan kebutuhan pemerintah ‘Israel’ untuk memastikan proyek penjajahannya yang tanpa henti di Palestina berjalan sesuai cetak biru merek, tidak satupun perbuatan mereka diterima dalam hukum internasional.

Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat menyatakan bahwa “Pemindahan paksa secara individu atau massal, serta deportasi orang-orang yang dilindungi dari wilayah pendudukan ke wilayah Kekuatan Pendudukan atau ke negara lain, baik yang diduduki atau tidak, adalah dilarang, terlepas dari motifnya”, menambahkan bahwa, “Kekuatan Pendudukan dilarang untuk mendeportasi atau memindahkan sebagian penduduk sipilnya sendiri ke wilayah yang didudukinya. ”

‘Israel’ telah banyak melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional sebagai ‘Kekuatan Pendudukan’ dalam banyak kesempatan. Pendudukan Palestina oleh ‘Israel’ itu sendiri, merupakan pelanggaran terhadap bagaimana pendudukan militer seharusnya dilakukan – yang seharusnya juga berupa pendudukan temporal.

Pendudukan militer berbeda dari aneksasi/pencaplokan. Yang pertama adalah transisi sementara, di mana ‘Kekuatan Pendudukan’ diperlukan, pada kenyataannya, terdapat tuntutan untuk melepaskan cengkeraman militern di wilayah yang diduduki setelah jangka waktu yang tetap. Aneksasi, di sisi lain, merupakan pelanggaran mencolok terhadap Konvensi Jenewa dan Peraturan Den Haag. Ini sama dengan kejahatan perang, karena penjajah sangat dilarang memproklamirkan kedaulatan sepihak atas tanah yang diduduki.

Keributan internasional yang dihasilkan oleh rencana Netanyahu untuk mencaplok sepertiga Tepi Barat adalah keniscayaan. Tetapi masalah yang lebih besar yang perlu diperhatikan adalah bahwa, dalam praktiknya, pelanggaran Israel terhadap ketentuan pendudukan selama ini adalah wujud aneksasi secara de facto di seluruh Tepi Barat.

Jadi ketika Uni Eropa, misalnya, menuntut agar Israel membatalkan rencana pencaplokannya, ia hanya meminta Israel untuk tetap pada status quo ante, yaitu aneksasi de facto yang selama ini berlangsung. Kedua skenario ini buruk dan harus ditolak.

‘Israel’ telah memanfaatkan wilayah Palestina yang diduduki seolah-olah sebagai bagian permanen dari apa yang disebut ‘Israel’, segera setelah perang Juni 1967. Dalam beberapa tahun, negara palsu itu mendirikan permukiman ilegal, sekarang kota-kota berkembang, lalu akhirnya memindahkan ratusan ribu warganya sendiri untuk mengisi daerah yang baru direbut.

Eksploitasi ini menjadi lebih canggih seiring berjalannya waktu, karena orang-orang Palestina terus menjadi sasaran pembersihan etnis yang perlahan namun konstan. Ketika rumah-rumah Palestina dihancurkan, lahan pertanian disita, dan seluruh penduduk diusir, pemukim Yahudi pindah untuk mengambil tempat mereka. Skenario pasca-1967 adalah pengulangan sejarah pasca-1948, yang menyebabkan berdirinya negara palsu ‘Israel’ di atas reruntuhan Palestina yang bersejarah.

Moshe Dayan, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Israel selama perang 1967, menjelaskan dengan lugas logika ‘Israel’ dalam pidato bersejarah di Universitas Technion Israel pada Maret 1969. “Kami datang ke negara ini yang telah dihuni oleh bangsa Arab, dan kami akan membangun bangsa Ibrani , yakni negara Yahudi di sini,” katanya.

“Desa-desa Yahudi dibangun di atas desa-desa Arab. Anda bahkan tidak tahu nama-nama desa Arab ini, dan saya tidak menyalahkan Anda, karena buku-buku geografi ini tidak ada lagi; tidak hanya buku-buku tidak ada, desa-desa Arab juga tidak ada, juga … Tidak ada satu tempat dibangun di negara ini yang tidak memiliki populasi Arab sebelumnya,” tambahnya.

Pendekatan penjajahan yang sama diterapkan ke Yerusalem Timur dan Tepi Barat setelah perang. Sementara Yerusalem Timur secara resmi dicaplok pada tahun 1980, Tepi Barat dicaplok dalam praktik, tetapi tidak melalui proklamasi Israel yang sah secara hukum. Mengapa? Dalam satu kata: demografi.

Ketika Israel pertama kali menduduki Yerusalem Timur, ia melakukan perpindahan penduduk yang hiruk pikuk: memindahkan penduduknya sendiri ke kota Palestina, secara strategis memperluas batas kota Yerusalem untuk memasukkan sebanyak mungkin orang Yahudi di antara orang-orang Palestina, lalu perlahan-lahan mengurangi populasi Palestina di Baitul Maqdis melalui berbagai taktik, termasuk pencabutan izin tinggal dan pembersihan etnis secara langsung.

Dan, dengan demikian, populasi warga Palestina di Yerusalem, yang dulunya merupakan mayoritas absolut, kini telah berkurang menjadi minoritas, dan terus berkurang.

Proses yang sama dimulai di bagian Tepi Barat, tetapi karena ukuran wilayah dan populasi yang relatif besar, tidak mungkin untuk mengikuti strategi pencaplokan yang sama tanpa membahayakan upaya ‘Israel’ untuk mempertahankan mayoritas Yahudi.

Membagi Tepi Barat menjadi Area A, B, dan C sebagai akibat dari perjanjian Oslo yang merusak, telah memberi Israel garis hidup, karena hal ini memungkinkannya untuk meningkatkan kegiatan pemukiman di Area C – hampir 60% dari Tepi Barat – tanpa perlu mempedulikan ketidakseimbangan demografis. Area C, di mana rencana pencaplokan saat ini ditetapkan akan dilakukan, sangat ideal untuk penjajahan Israel, karena wilayah tersebut mencakup tanah Palestina yang paling subur, kaya sumber daya, dan berpenduduk jarang.

Tidak ada perbedaan apakah pencaplokan ‘resmi’ akan dimulai pada tanggal yang ditentukan atau akan berlangsung secara progresif melalui deklarasi kedaulatan ‘Israel’ sedikit demi sedikit di Tepi Barat. Faktanya, pencaplokan bukanlah agenda politik baru ‘Israel’ yang ditentukan oleh keadaan politik di Tel Aviv dan Washington. Sebaliknya, pencaplokan sejak awal adalah tujuan utama ‘Israel’.

Jangan sampai kita terjerat pada definisi ‘nyeleneh’ Israel. Yang benar adalah bahwa ‘Israel’ memang tak berperilaku sebagai ‘Kekuatan Pendudukan’, tetapi sebagai negara yang mengklaim kedaulatan di mana diskriminasi rasial dan apartheid tidak hanya ditoleransi atau diterima tetapi juga, pada kenyataannya, ‘legal’ di sana.

Ramzy Baroud seorang jurnalis, penulis, dan editor Palestine Chronicle. Dia telah menulis sejumlah buku tentang perjuangan Palestina termasuk ‘The Last Earth: A Palestinian Story’. Baroud memiliki gelar Ph.D. dalam Studi Palestina dari University of Exeter dan merupakan Sarjana non-residen di Pusat Studi Global dan Internasional Orfalea, Universitas California Santa Barbara. Artikel dimuat di laman middleeasmonitor

Advertisements