Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Turki, Libya dan Pertaruhan Islam Politik di Timur Tengah

Turki, Libya dan Pertaruhan Islam Politik di Timur Tengah

4 Juni 2020. Presiden Recep Tayyip Erdogan berdiri menyambut Perdana Menteri Libya Fayez al-Sarraj di Istana Kepresidenan Turki. Erdogan melambaikan tangannya lalu mendekapkannya ke dada – sebagai gaya salam khas Ertugrul, pendiri kesultanan Utsmaniyah.

Ankara menyambut pemimpin Libya itu yang sedang bergembira atas pembebasan Tripoli dan daerah sekitanya. Erdogan kembali menegaskan dukungannya kepada pemerintah sah di Libya itu, “Kami tak akan pernah meninggalkan saudara-saudara kami di Libya berhadapan dengan pasukan kudeta dan tentara bayaran,” ujarnya.

“Sejarah akan menghakimi mereka yang menyebabkan pertumpahan darah dan air mata di Libya dengan mendukung pasukan Haftar,” tambah Erdogan. Selama 427 malam rakyat Tripoli hidup di bawah pengepungan dan roket Jenderal Khalifa Haftar.

Pada awal April 2019 milisi Jenderal Khalifa Haftar hampir berhasil merebut Ibu Kota Libya, Tripoli. Kota itu bergolak dahsyat. Haftar yang didukung oleh UEA, Mesir, Arab Saudi, Rusia dan Prancis telah mengklaim menguasai 80 persen wilayah Libya. Milisinya yang disebut Tentara Nasional Libya (LNA) selangkah lagi merebut Tripoli untuk mengkudeta Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui PBB.

GNA dengan bantuan militer Turki berhasil mempertahankan Tripoli, bahkan tiga belas bulan kemudian lanskap perang berubah terbalik, pengepungan Tripoli selama setahun itu gagal, milisinya bukan hanya kalah tetapi juga terpaksa mundur. Markas strategis Haftar di Barat yang dipakai untuk mengepung Ibu Kota seperti pangkalan al-Watiya dan Tarhuna lepas. Haftar terdesak mundur, wilayahnya di Timur terancam.

Di Libya, ada pasukan Prancis, UEA dan Rusia yang mendukung pemberontak Haftar. Mereka tidak pernah mengakui secara terbuka bahwa mereka mendukung Haftar melawan pemerintah sah tapi di lapangan pasukan tiga negara ini cukup kuat. Haftar juga mendapat dukungan keuangan yang besar dari Arab Saudi.

Ada banyak aktor asing yang bermain di Libya. Sumber daya alam yang sangat melimpah dan lokasi yang strategis sebagai gerbang laut ke Eropa membuat pihak asing tergiur di Libya. Turki yang mendukung GNA berhadapan dengan pendukung Haftar; Uni Emirat Arab (EUA), Mesir, Rusia, Arab Saudi dan Prancis.

Asal Usul Perang Libya

Libya yang memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika pernah memiliki standar hidup tertinggi di benua itu. Sebelum Moammar Qadhafi dijatuhkan Barat, rakyat Libya merasakan kesejahteraan tinggi dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, listrik, biaya persalinan hingga beasiswa luar negeri secara gratis.

Namun Libya terperosok dalam kekacauan sejak pemberontakan yang didukung NATO pada 2011 menggulingkan dan membunuh Qadhafi. Kemudian pada 2015, Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli dibentuk melalui perjanjian yang diperantarai PBB yang disetujui oleh Dewan Keamanan, telah berjuang untuk membangun kendali atas negara itu.

UEA, Mesir, Prancis dan Rusia  semuanya telah mendukung komandan militer, Khalifa Haftar, yang sejak 2014 telah berusaha untuk mengambil alih kekuasaan di Libya melalui kekuatan militer.

Karena konflik ini, menurut PBB lebih dari 200.000 orang mengungsi secara internal dan 1,3 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Jumlah korban sangat dipolitisasi dan sulit diverifikasi, dengan perkiraan berkisar 2.500 hingga 25.000.

Mengapa Libya Penting bagi Turki?

Dalam konferensi pers pertemuan Erdogan dan al-Sarraj di Ankara, kedua negara sepakat memperluas hubungan mereka termasuk wilayah Mediterania Timur. Sekaligus menguatkan kesepakatan Turki-Libya di laut Mediterania di akhir tahun lalu.

Konsekuensi kesepakatan itu membuat ribut dan frustasi Eropa dan Timur Tengah. Turki mau memulai eksplorasi gas di laut ini. Di sisi lain Prancis, Israel dan Yunani adalah pemain utama dalam memburu kekayaan laut Mediterania. Menurut U.S. Geological Survey Mediterania Timur mengandung gas alam senilai 700 miliar dolar.

Kesepakatan ini akan merugikan Siprus, Yunani, dan Israel yang bekerja sama untuk mengembangkan pipa dengan nilai proyek 7-9 miliar dolar untuk mengangkut gas Mediterania timur ke Eropa. Kesepakatan Turki dengan Tripoli, beberapa ahli mengatakan, dapat menghalangi rencana tersebut karena pipa harus melintasi yurisdiksi Turki-Libya.

Menteri luar negeri Turki Mevlut Çavuşoğlu dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi lokal 24 pernah mengatakan kesepakatan itu memberi Ankara dua tujuan: “Pertama, untuk melindungi hak-hak Siprus Turki dan, kedua, untuk melindungi kepentingan kami di landas kontinen kami.”

Dalam pertemuan di Ankara itu juga Erdogan berjanji memperkuat kerja sama Turki dengan pemerintah Sarraj. Artinya rencana tersebut tidak terbatas pada eksplorasi minyak dan gas bumi. Karena Sarraj berbicara tentang “rekonstruksi,” kerja sama kemungkinan akan multidimensi.

Memang benar ada faktor ekonomi  terkait operasi militer Turki di Libya. Karena memang Turki bukan lembaga kemanusiaan yang bekerja gratis. Tapi setidaknya Turki tidak culas seperti negara-negar besar lainnya. Ketika Libya menandatangani kesepakatan dengan Turki, artinya Libya telah memilih siapa yang sah menjaga sumber daya alamnya.

Alasan Ideologis

Faktor penting yang mempengaruhi adalah alasan ideologis. Faktor inilah yang membuat Erdogan dan Islam Politik berkuasa di Turki selalu berserlisih dengan penguasa negara-negara Arab seperti Mesir, Arab Saudi dan UEA yang melihat partai-partai Islam sebagai ancaman terhadap kekuasaan mereka. Termasuk berselisih di Libya.

Turki di masa lalu pernah mendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (JCP), sebuah partai Islam Politik yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Kini Turki melihat di dalam kelompok GNA berisi beberapa elemen Islam Politik yang berkomitmen untuk mengalahkan Haftar.

Peperangan di Libya saat ini masih ada hubungan dengan kelanjutan Arab Spring. UEA di bawah komando Mohammed bin Zayed dalam dekade ini menjadi aktor yang paling agresif secara politik dan ambisisus di Timur Tengah. MBZ mengajak penguasa de facto Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS) yang merupakan anak didiknya dalam banyak hal, terutama dalam politik. Penguasa ini mengacaukan semua potensi Arab Spring di Timur Tengah dan berusaha mempertahan kekuasaan otokratis di kawasan.

Ketika Arab Spring melewati banyak negara, maka mulai bermunculan partai-partai Islam. Karena saat kran kebebasan dibuka maka Islam Politik langsung berhasil naik panggung. Inilah yang ditakuti rezim seperi seperti UEA, Arab Saudi dan Mesir karena secara alamiah bertentangan dengan otoriterisme dan merupakan ancaman strategis bagi rezim otoriter.

Oleh karena itu MBZ berani mengucurkan uangnya miliaran dolar di Libya untuk menyediakan senjata dan amunisi. UEA juga membawa ribuan tentara bayaran dari negara-negara seperti Chad dan Sudan untuk berperang bersama Haftar. UEA juga memasok Drone bernilai jutaan dolar, pantsir buatan Rusia, helikopter dan kendaraan lapis baja.

Dalam dokumen AS yang bocor antara tahun 2003-2006, MBZ meyakini jika demokrasi  diberlakukan di Dubai, maka Ikhwanul Muslimin akan mengambil alih UEA. Ketakutan itu terbukti pada revolusi Arab Spring 2011 saat rezim Mesir dapat digulingkan dan Ikhwanul Muslimin muncul sebagai kekuatan politik utama.

UEA adalah pendukung kudeta 2013 yang menjatuhkan presiden Mesir pertama yang dipilih secara  demokratis. Abu Dhabi langsung mengirim miliaran bantuan ke Mesir untuk menopang dukungan bagi pemerintahan otokratis Abdul Fattah al Sisi, jenderal yang menggulingkan Mohammad Morsi. Hingga sekarang, Turki menyebutnya sebagai kudeta militer terhadap pemerintahan yang sah dan terpilih secara demokratis.

Ini pula alasan Qatar diblokade oleh UEA, Arab Saudi dan sekutunya. Walaupun Qatar masih monarki, tapi negara kecil ini mendukung demokratisasi Timur Tengah dan membuka pintunya untuk tokoh Islam politik seperti Syaikh Dr Yusuf Qaradhawi dan aktivis Hamas Palestina, keduanya punya afiliasi kepada Ikhwanul Muslimin.

Ini pula mengapa Yaman sampai saat ini masih bergejolak, seolah Saudi dan UEA tidak menginginkan negara itu stabil karena peluang politik Islam di sana. Di Yaman, Abu Dhabi dan Riyadh seolah-olah memerangi pemberontak Syiah al-Houthi untuk mengembalikan pemerintahan Presiden Mansour Hadi, tapi di saat bersaman UEA dan Saudi juga dilaporkan terlibat dalam kampanye pembunuhan rahasia yang menargetkan anggota Partai Islah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.

Kembali ke Libya. Konflik di Libya adalah miniatur paket lengkap lanskap pertempuran dua hegemoni dan kekuatan regional sunni di Timur Tengah. Yakni antara pendukung Arab Spring yang banyak diwakilkan oleh Islam politik dan pro-demokrasi dan kontra Arab Spring yang diwakilkan penguasa otokratis. Kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya.*

*Penulis adalah pemerhati masalah keislaman dan Timur Tengah

Dari Hidayatullah.com.