Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Menyelamatkan Demokrasi Indonesia dari Monarkisme

Kabarumat.co – Selesailah pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia. Hasil Pemilu 2024 versi quick count sudah diketahui: Prabowo-Gibran menjadi presiden periode 2024-2029. Sementara itu, dalam jumpa pers, Anies Baswedan mengatakan akan selalu berada di barisan perubahan. Beberapa sumber juga menegaskan bahwa PDIP—yang mengusung Ganjar Pranowo—akan berada di barisan oposisi. Lantas, sudahkan demokrasi Indonesia pulih?

Diksi “pulih” ialah dalam arti kembali ke khitahnya. Sebab, sejak Gibran putra Jokowi maju ke Pilpres, terjadi penggembosan demokrasi besar-besaran. Presiden Jokowi mempraktikkan monarkisme melalui langkah-langkah nepotis. Ia menjadi ruang demokratis di negeri ini cedera dengan menguasai aspek eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Iparnya menjabat Ketua MK. Anaknya Ketua PSI. Menantunya Walikota Medan. Sementara Gibran jadi Wapres.

Karena itu, narasi “politik dinasti” menggema di mana-mana yang menegaskan ketidaklayakan Gibran menjadi Wapres. Tetapi apa yang bisa diperbuat, Jokowi adalah penguasa. Bahkan ketika para guru besar di berbagai kampus menyuarakan penyelematan demokrasi dan monarkisme tersebut, pengaruhnya tidak ada. Praktik politik gentong babi (pork barrel politic) berhasil, namun demokrasi di ambang kematian.

Bukankah metode pemilihannya tetap menggunakan cara-cara demokratis? Pertanyaan ini juga diajukan Prabowo ke Anies saat debat beberapa waktu lalu. Ia seolah mengatakan bahwa demokrasi di tanah air baik-baik saja. Ia mengabaikan bahwa majunya Gibran akan menjadi awal dari monarkisme. Gibran dan keluarga akan kembali maju di Pemilu 2029, 2034, 2039, bahkan 2044 secara bergantian. Jokowi sedang membangun monarki, bukan?

Khilafah dan Monarki

Menarik dicatat bahwa demokrasi merupakan konsensus final tidak hanya di ranah teoretis, tetapi juga praktis. Artinya, sekalipun negara ini tetap menerapkan demokrasi namun dalam praktiknya mengarah pada monarkisme—karena demokrasinya dikorupsi—maka perlu perjuangan bersama untuk memulihkannya. Eksploitasi kekuasaan dan manipulasi sistem politik tidak boleh dibiarkan. Demokrasi harus ditegakkan sebenar-benarnya.

Hari ini, jika diamati, demokrasinya berbau monarki. Akibatnya, tata kelola pemerintahannya mirip dengan sistem khilafah—alih-alih demokrasi. Sebagai contoh, khilafah ala Hizbut Tahrir menerapkan suksesi yang nepotis: tidak peduli seberapa tidak layaknya seseorang jika ia anak raja, maka ia akan menjadi penguasa. Bukankah ini yang tengah terjadi di negara ini, yang bahkan melabrak konstitusi demi sang anak masuk istana?

Singkatnya, demokrasi di negara ini sedang ditunggangi hasrat monarkisme. Sistemnya memang tak diubah, tetap demokrasi, namun penerapannya sudah melenceng jauh dari nilai-nilai demokrasi yang ideal. Alih-alih demokrasi, ia malah lebih mirip monarki Korea Utara atau khilafah Bani Umayyah. Di Korut dan Umayyah, kekuasaan mutlak adalah milik raja: mereka bisa lakukan apa pun demi langgengnya takhta.

Dengan demikian, yang mendesak dilakukan adalah mengembalikan demokrasi ke garis yang semestinya. Jika khilafah dan monarki dilarang, mengapa demokrasi yang dikorupsi ini mesti dibiarkan? Mestinya juga dilarang dan dilawan bersama. Tidak peduli siapa yng berkuasa, jika ia menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dinasti dan nepotisme, ia secara otomatis menjadi musuh demokrasi. Ia harus dilemahkan agar demokrasi kembali kuat.

Penguatan Demokrasi

Bagaimana menyelamatkan demokrasi di negara ini dari ancaman monarkisme tersebut? Tentu saja banyak PR yang harus diselesaikan. Namun, yang paling penting untuk segera dilakukan adalah edukasi penyadaran masyarakat. Pendidikan mengenai nilai-nilai demokrasi serta bahaya korupsi bagi demokrasi harus diperkuat. Kurikulum sekolah, kampanye publik, dan kegiatan-kegiatan sosial bisa menjadi sarana edukasi yang dimaksud.

Selanjutnya ialah reformasi sistem politik dan hukum. Ini menjadi langkah krusial dalam penguatan demokrasi untuk memastikan keadilan bagi semua: mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan penindakan tegas atas pelanggaran hukum. Anwar Usman, sebagai contoh, yang telah merusak MK, harus dimusnahkan dari dunia mahkamah. Bukan seperti saat ini: Usman malah menggugat untuk kembali menjadi Ketua MK. Ironis.

Reformasi sistem hukum harus mengarah ke situ. Orang seperti Anwar Usman tidak boleh diberi ruang, bahkan kalau bisa dieksekusi mati karena telah menjembatani korupsi demokrasi di Indonesia. Tujuannya ialah memberdayakan institusi demokratis. Ini melibatkan peningkatan kapasitas, independensi, dan aksesibilitas agar dapat berfungsi secara efektif dalam memperkuat demokrasi.

Selain itu, masyarakat seluruhnya harus ikut berpartisipasi mengawal demokrasi. Mahasiswa tidak boleh bungkam. Ke mana suara PMII, HMI, dan GMNI hari-hari ini? Aneh. Sebagai agen perubahan sosial, mereka mestinya di garda depan penguatan demokrasi. Ormas sipil seperti NU juga demikian: tidak boleh bagi para elitenya untuk menjadi corong penguasa—apalagi penguasa yang mengorupsi demokrasi.

Kalau mahasiwa dan ormas sipil tiarap atau bahkan membebek, siapa lagi yang bisa diharapkan untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia ini dari cengkeraman monarkisme? Tidak ada. Masyarakat akar rumput tidak bisa bergerak kecuali digerakkan oleh mahasiswa atau ormas—sebagai pihak yang memiliki kapasitas. Untuk itulah, demi menyelamatkan demokrasi, semua pihak bergeraklah dan jangan bungkam!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Mahasiswa Magister Pengkajian Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.