1995, penulis yang saat itu masih sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi salah satu peserta dalam Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik di Wisma Civita, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Saya bersama tiga rekan mahasiswa lainnya mewakili Keuskupan Bogor dengan pendamping Romo Anton Dwi Haryanto Pr, yang saat ini menjadi Pastor Paroki Santo Ingatius Loyola Semplak, Bogor. Ada banyak agenda yang dibahas saat itu terkait dengan orang muda (pemuda dan pemudi) yang bersamaan dengan memperingati Tahun Orang Muda se-Dunia yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1995.
Sejalan dengan seruan gereja Katolik saat itu, keberadaan kaum muda sangat menentukan masa depan. Untuk itu, masa-masa muda sebagai masa pencarian dan belajar menjadi bekal untuk masa depan. Kaum muda diharapkan tidak mudah terpengaruh oleh dampak iklan, ekses negatif multimedia dan pola hidup konsumeristis. Di sisi lain,situasi nasional saat itu, menjadikan kaum muda yang berstatus mahasiswa pun dituntut menjadi lebih kritis terhadap persoalan bangsa dan negara yang kemudian menjadi cikal bakal dari gerakan reformasi.
Peran Pemuda dan Benih Nasionalisme
Hingga saat ini dan dalam masa-masa mendatang, tema-tema kepemudaan selalu aktual dengan berbagai varian persoalan yang tidak jauh berbeda. Posisi orang muda yang begitu strategis menjadikan berbagai persoalan konvensional tersebut harus selalu direspon dengan cepat. Sejarah membuktikan bahwa sejak Sumpah Pemuda dicetuskan pada 1928, peranan pemuda sangat penting dalam mewujudkan kemerdekaan Republik Indonesia. Kesadaran bersama dari pemuda sebagai satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa menunjukkan keberanian menolak penjajahan dan ketidakadilan. Sebuah sikap yang kritis dan radikal, di tengah tekanan penjajah, masih ada keberanian untuk mengungkapkan aspirasi secara elegan. Benih-benih nasionalisme pemuda untuk mewujudkan kemerdekaan pun mulai dipupuk melalui Sumpah Pemuda.
Tekad dan semangat juang seperti itu bisa jadi sangat kontekstual dengan fase-fase awal kemerdekaan hingga saat ini. Sejumlah peristiwa monumental menunjukkan betapa besar peran pemuda, khususnya mahasiswa, sebagai agen perubahan. Kaum muda Katolik pun ikut dalam gelora perjuangan tersebut. Sejarah mencatat salah satu bagian dari rangkaian Kongres Pemuda tersebut digelar di gedung Katholikee jongelingen Bond (Gedung Pemuda Katolik). Demikian juga keterlibatan dalam perjalanan bangsa hingga saat ini.
Di tengah peran orang muda yang masih dinantikan, ancaman dan tekanan pun masih saja ada untuk menegasikan arti dari perjuangan pemuda tersebut. Secara perlahan, orang muda yang seharusnya menjadi generasi penerus dan pejuang, justru dibelokan dengan arah yang berbeda. Radikalisme Sumpah Pemuda yang begitu heroik melawan penjajah justru dikerdilkan dengan menanamkan ideologi sesat kepada pemuda Indonesia saat ini. Benih-benih radikalisme sesat itu pun menusuk ke sejumlah orang muda sehingga menjadi ancaman tersendiri. Hal ini semakin subur karena konteks geopolitik dunia yang juga menyuburkan radikalisme yang keliru tersebut.
Radikalisme Bukan Fanatisme Agama
Banyak pihak dan berbagai forum kajian sudah mengupas kekhawatiran tersebut. Salah satunya dalam seminar Mewaspadai Radikalisme di Sekitar Kita yang digelar di Gedung Pusat Pastoral Keuskupan Bogor, Minggu (9/9) lalu juga mensinyalir kuat bahwa generasi muda saat ini dalam kondisi darurat. Radikalisme dan terorisme yang menjadi musuh bersama dari semua umat beragama di Indonesia, rupanya sudah menjadi bagian dari segelintir kaum milenial tersebut, termasuk di Bogor. Upaya menggiring radikalisme yang salah kaprah sebagai fanatisme agama itu harus dicegah dan peran semua pihak harus segera membangun dialog. Perwakilan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sejumlah organisasi kepemudaan dan para umat Katolik yang menjadi peserta dalam seminar itu sepakat mendorong orang-orang muda melaksanakan aktivitas yang menghilangkan paham-paham radikalisme dan terorisme.
Dalam konteks Sumpah Pemuda, radikalisme generasi muda harus dikembalikan sebagaimana mestinya, yakni kritis terhadap ketidakadilan dan ketimpangan. Namun bukan menumbuhkan kebencian kepada pihak lain hanya karena berbeda ideologi, suku, agama, ras, dan asal daerah.
Semangat Sumpah Pemuda yang pada 28 Oktober esok memasuki usia ke-90 harus dimaknai secara benar dalam keberagaman dan Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Relevansi Sumpah Pemuda masih sangat sejalan dengan generasi muda milenial saat ini dan seterusnya. Demikian halnya bagi orang-orang muda Katolik harus senantiasa menempatkan Sumpah Pemuda sesuai dengan koteksnya.
(Heriyanto Soba)
*Mantan Ketua DPC PMKRI Cabang Bogor | Ketua Komsos, Paroki St Ignatius Loyola-Semplak, Bogor | Wakil Sekjen DPP Himpunan Alumni (HA) Institut Pertanian Bogor (IPB).
Leave a Review