Cerita-cerita para perempuan istri napiter yang bisa ditonton melalui youtube, beberapa waktu belakangan ini menjadi salah satu perhatian saya. Cerita tentang pengasingan, dikucilkan bahkan mendapat bully dari masyarakat dan tetangga, menjadi salah satu fenomena yang nyata bahwa, para istri napiter memiliki jiwa yang sangat struggle untuk menjalani kehidupan. Argumen tersebut saya lontarkan dengan mengacu pada salah satu pengalaman perempuan istri napiter ketika harus menjadi orang tua tunggal untuk membesarkan 2 anak.
Di satu sisi, ia harus fokus untuk mencari nafkah agar ada pemasukan. Di sisi lain, ia harus menerima penolakan, pengasingan dari tempat kerjanya. Bahkan kerapkali sang anak selalu bertanya dan bercerita tentang sikap para tetangga dan teman-teman mainnya bahwa, sang ayah adalah penjahat. Ini adalah momen yang cukup menyedihkan ketika saya berusaha membayangkan hal itu.
Namun, ada salah satu konsep yang lucu dan tidak masuk dalam relasi yang terbangun pada keluarga jihadis, yakni perempuan sebagai istri menerapkan sikap sami’na wa atho’na dengan tidak perlu mengetahui segala urusan suami, termasuk pengajian bahkan pertemanan sang suami. Alhasil, ketika suaminya ditangkap oleh densus 88, ia sama sekali tidak mengetahui secara pasti mengapa suaminya ditangkap. Pijakan selama ini yang dipegangnya adalah, ia harus menjadi wanita salihah, taat pada suami dll.
Ketaatan ini sebenarnya adalah konstruksi sosial yang dibangun secara terus menerus di bawah ideologi khilafah, agar perempuan mampu menuruti segala fatwa suami. Termasuk juga pada perempuan yang bergabung dalam kelompok jihad dan menjadi teroris dengan alasan menginginkan surga. Para perempuan tidak menyadari dengan menghilangkan akal dan pikiran bahwa, tindakan ini sebenarnya tidak benar. Posisi perempuan di bawah naungan ideologi khilafah ini, sama sekali tidak memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri.
Apakah kasus ini sama seperti para perempuan HTI di mana secara gerakan kelompok ini tidak memiliki konsep membunuh seperti terorisme? Mari kita simak!
Bayang-Bayang Ideologi Khilafah
Dalam naungan ideologi khilafah (selanjutnya disebut aktivis perempuan HTI), posisi perempuan Muslim dinarasikan sebagai makhluk pasif yang, seharusnya hanya menerima gelar kehormatan yang diciptakan oleh Islam dengan potret, menjadi ibu, melakukan pekerjaan dari rumah, dan sangat menentang para perempuan yang melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan terhadap perempuan.
Dari sisi simbolisasi, perempuan HTI identik dengan jilbab besar dan pakaian dengan jubah serba tertutup. Ia akan mengenakan seragam dalam sebuah event atau acara tertentu. Tentu, ini tidak bisa digeneralkan pada semua muslimah yang memiliki ciri-ciri demikian. Namun, kita bisa melihat secara pemikiran bahwa, para perempuan HTI memiliki pandangan bahwa “Khilafah adalah solusi dan harga mati untuk negeri ini.”
Ajaran organisasi dan partai politik ideologis melandaskan simbol tersebut, aktivis perempuan HTI juga menggemakan semangat perubahan itu. Di sisi gerakan lainnya, mereka juga memiliki konsep dakwah sebagai peran politik perempuan. Dakwah yang dimaksud melalui pengajian yang diadakan di masjid, café ataupun di hotel. Mereka kerapkali mengkritik ideologi kesetaraan gender karena berasal dari Barat. Isu-isu global juga menjadi perhatian mereka untuk mencuri suara dan empati dari masyarakat agar gerakannya bisa dilihat oleh publik.
Beberapa waktu belakangan ini, kritik para aktivis perempuan HTI menyasar kepada keterlibatan perempuan dalam ranah politik yang seharusnya, sama sekali tidak disentuh oleh perempuan. Sebab mereka adalah pengusung kesetaraan gender, di mana ideologi tersebut berasal dari Barat. Tidak hanya itu, kepemimpinan dalam versi mereka adalah tanggung jawab yang besar, sehingga sosok perempuan belum mampu untuk memenuhi kriteria tersebut.
Padahal sebenarnya, jika kita mau bersikap arif sebenarnya keterlibatan perempuan di ranah publik (terlebih sebagai pemimpin) merupakan cerminan implementasi pengakuan dan penghormatan Islam terhadap perempuan. Pemberian kesempatan untuk terlibat dalam urusan publik akan memberi manfaat besar bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang. Kehadiran pemimpin yang diharapkan mampu merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan berjuta-juta kaumnya dan menghapus kultur diskriminatif seharusnya tidak dibatasi dari sisi gender melainkan pada sisi kemampuan. Perilaku diskriminatif tersebut akan luntur jika konstruksi sosial yang menghargai laki-laki dan perempuan terbentuk secara seimbang.
Keberadaan para aktivis perempuan HTI sebenarnya terkungkung dalam ideologi. Sebagai perempuan, mereka dirampas kebebasan dan otoritasnya sebagai manusia. Namun, kondisi ini tidak disadari lantaran fanatisme buta terhadap ideologi yang dianut. Wallahu a’lam.
Leave a Review