Paham radikal di lingkungan kampus kian marak berkembang. Pada tahun 2018 kepala BIN menyebutkan sebanyak 39% mahasiswa di beberapa kampus terpapar paham radikal. Saat ditanya tentang jihad dan pendirian negara Islam, banyak dari mahasiswa memberikan jawaban setuju. Banyak hal yang menjadi faktor maraknya paham radikal di lingkungan kampus; di antaranya adalah di beberapa kampus non-Islam pembelajaran tentang ajaran Islam tidak diajarkan secara komprehensif.
Dari pembelajaran Islam yang tidak komprehensif ini, para penganut paham radikal melakukan penggiringan opini bahwa sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak dapat menjamin terhadap tegaknya keadilan bagi setiap warga negaranya. Salah satu contoh belum terjaminnya penegakan keadilan di NKRI adalah belum adanya kepastian hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus yang belakangan cukup marak terjadi.
Data dari Komisi Nasional Perempuan tahun 2015-2020 menunjukkan, keseluruhan pengaduan kekerasan seksual dari lembaga pendidikan dan sebanyak 27 persen kasus berasal dan terjadi di lingkungan perguruan tinggi atau kampus. Hasil survei Kemendikbud pada tahun 2020 bahkan menunjukkan bahwa 77 persen dosen menyebutkan bahwa telah terjadi kekerasan seksual di lingkungan kampus mereka dari jumlah tersebut 63 persen tidak melaporkan kasus yang terjadi di lingkuan mereka.
Mayoritas korban dari pelaku kekerasan seksual adalah perempuan, maka tidaklah heran jika banyak mahasiwi yang terjerat pada paham radikal sebagai tempat pelarian dan perlindungan.
Selanjutnya, dengan terbitnya permendikbud No 30 Thn 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, diharapkan dapat mencegah dan memberikan keadilan bagi para korban pelecehan seksual di lingkungan kampus. Namun harapan tersebut berujung pada polemik dan tuduhan dari beberapa kalangan yang beranggapan bahwa Islam tidak pro dan konsisten dalam memerangi kejahatan seksual. Akibat penolakan dan rekomendasi revisi dari beberapa ormas Islam.
Permendikbud tersebut juga memberi ruang dan celah kepada para penganut paham radikal untuk memanipulasi fakta dan menuduh para petinggi negeri ini semakin menampakkan kesekulerannya, dengan tuduhan negara telah melegalkan seks bebas. Polemik dan tuduhan-tuduhan tak berdasar itu pula yang mungkin menjadi salah satu faktor para ulama mengambil sikap dengan melangsungkan ijtima’ ulama, yang dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI.
Ijtima tersebut melahirkan beberapa rekomendasi untuk Permendikbud. Keterangan KH. Cholil Nafis pada sesi wawancara yang dilakukan di TvOne, menyebutkan bahwa hasil rekomendasi atau fatwa MUI dari pertemuan tersebut adalah menyepakati bahwa di dalam permen tersebut memang terdapat beberapa hal yang perlu direvisi dan disempurnakan.
Salah satunya adalah adanya frasa “tanpa persetujuan korban” yang mengindikasikan munculnya pelegalan seks bebas yang sebenarnya bertentangan dengan norma agama khususnya Islam.
Penjelasan Asrorun Niam Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa lebih jelas menyebut bahwa ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frasa “tanpa persetujuan korban” sangat bertentangan dengan nilai-nilai syariat, Pancasila, UUD NRI 1945, Peraturan Perundangan-Undangan lainnya, dan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, sehingga sudah seharusnya permen tersebut direvisi atau dicabut.
Seks bebas merupakan serangkaian kegiatan atau hubungan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di luar ikatan pernikahan, diantara kategori seks bebas adalah berbagai bentuk hubungan badan saat pacaran (seks pranikah), cinta atau seks satu malam, prostitusi, atau saling bertukar pasangan (swinging), sehingga dapat disimpulkan bahwa seks bebas dilakukan berdasar pada persetujuan kedua belah pihak.
Sedangkan hubungan seksual di dalam Islam dan beberapa agama lain yang ada di Indonesia harus dilakukan setelah dilakukan melalui pernikahan dengan ketentuan yang mudah dan sangat mengikat dengan arti menyulitkan terjadinya penyimpangan seksual dan memastikan terjaminnya hak masing-masing mempelai.
Selanjutnya jika berpikir menggunakan nalar sehat maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seks bebas sendiri juga merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual sebab, seks bebas dapat menimbulkan dampak pisikologis yang sama bahkan melebihi yang dirasakan korban kekerasan seksual, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Banyak pelaku seks bebas yang mengalami kekhawatiran kehamilan di usia muda dan terinfeksi penyakit seksual seperti HIV. Perkembangan karakter pelaku seks bebas juga terpengaruh bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan yang serius.
Menurut penelitian Psikolog Martha Waller mereka yang melakukan perbuatan yang berisiko, semisal seks bebas, mengonsumsi narkoba, dan alkohol adalah kelompok yang paling memungkinkan mengalami depresi.
Terakhir, menurut pendapat pribadi penulis berdasar pada uraian di atas sebaiknya Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengkaji ulang Permen yang dikeluarkan serta mengindahkan masukan dan rekomendasi dari Komisi Fatwa MUI dan beberapa ormas lainnya.
Hal itu agar dapat menutup celah para penganut paham radikal menggiring opini yang tak berdasar, serta aturan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dapat benar-benar menjamin terciptanya keadilan dan rasa aman di lingkungan kampus, yang pada akhirnya hal tersebut dapat membuat tidak ada lagi mahasiswi yang berlindung pada para penganut paham radikal. Wallahu A’lam Bi al-Shawab.
Leave a Review