Korban kekerasan seksual adalah kelompok mustadh’afin (dilemahkan dan lemah secara struktural) karena posisi dan relasinya dengan pelaku yang timpang. Dari mulai menghadapi keluarga yang mungkin tidak memberi dukungan, menghadapi lingkungan masyarakat yang seringkali masih menyalahkan korban, sulitnya mendapatkan keadilan, hingga ketidakberanian melapor lantaran proses yang panjang dan pelik hingga menambah luka dan trauma bagi korban.
Seperti itulah ketika Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menggambarkan kekerasan seksual melalui siaran pers ketika menggelar Istighosah Kubro & doa bersama untuk keselamatan bangsa dari darurat kekerasan seksual.
Pada term yang lain, kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, dihubungankan dengan isu islamofobia. Di twitter, pada15/12/21 tagar #islamphobia marak dibicarakan dengan menghubungkan isu kekerasan seksual yang terjadi. Benarkah kasus kekerasan seksual hanya terjadi pada lembaga keagamaan Islam?
Pelaku kekerasan seksual tidak mengenal agama manapun
Habib Ali Jufri dalam sebuah video yang menjelaskan betapa kejamnya pelaku kekerasan seksual, membuka kacamata kita bahwa tidak ada hubungan antara dengan pakaian korban dengan aksi kekerasan seksual yang dilakukan.
Apalagi ketika pemuka agama memfatwakan menutup aurat ketika maraknya kekerasan seksual. Ini bukan menegasikan kewajiban menutup aurat bagi umat muslim. Akan tetapi, berdalih melakukan keharaman, dengan keharaman yang lain merupakan sesuatu yang bejat!
Setidaknya, Habib Ali Jufri mengajak kita fair dalam melihat fenomena kekerasan seksual yang menjadi momok menakutkan pada abad ini. Sebab yang kita lihat pada fenomena kekerasan seksual, sebagian kelompok Islam justru melemparkan fatwa keharaman tidak menutup aurat, fatwa keharaman yang membuat kelompok lain merasa geram dengan adanya ekspresi keberagamaan yang demikian.
Jika melihat kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagmaan, berita terbaru, tindak pencabulan menimpa sembilan santriwati berusia 15—17 tahun di sebuah pesantren di Tasikmalaya.
Sebelum itu, penemuan 13 santri perempuan menjadi korban kasus dugaan kekerasan seksual oleh pengampu suatu pondok pesantren di Bandung juga menjadi polemik yang masih hangat dibicarakan.
Tokoh agama Hindu di Bali, I Wayan Mahardika terbukti melanggar Pasal 289 KUHP. Aksi yang dilakukannya tersebut merupakan tindakan pencabulan yang dilakukan terhadap seorang umatnya berinisial KYD.
Melalui data yang begitu singkat seperti di atas, kiranya kita akan memahami bahwa kasus kekerasan seksual tidak hanya dilakukan pada orang yang memiliki faktor lembaga keagamaan Islam.
Stop melegitimasi agama pelaku
Apapun penganut agama pelaku kekerasan seksual, sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama yang dianut. Jika berdasarkan data yang sudah dipaparkan di atas, setidaknya kita memahami bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada lembaga pendidikan di pesantren yang kemudian kita sebut basis pendidikan bagi masyarakat muslim.
Fenomena tersebut juga terjadi pada lembaga keagamaan yang lain, seperti fenomena diatas. Di sisi lain, santernya kritik terhadap sistem kapitalisme dari kelompok khilafah yang menyalahkan karena semakin tingginya kasus kekerasan seksual di lembaga keagamaan, sangat tidak fair ketika kesimpulan finalnya berpatokan pada sistem khilafah yang melulu menjadi landasan berpikir dan bertindak.
Mengapa penulis katakan tidak fair? Ada beberapa narasi yang timpang dikemukakan. Setidaknya dalam pemaparan tersebut, Islam yang mereka seolah-olah merasa dituduh dengan narasi bandingan yang dikemukakan oleh teman-teman pejuang pengesahan RUU-TPKS.
Islam yang dibawa oleh para kelompok khilafah ini, tentu sangat jelas. Mengharamkan zina! Apakah kelompok yang mendukung RUU-TPKS menghalalkan zina? Tentu tidak! Sebab yang diperjuangkan adalah keadilan bagi korban. Bukannya mendukung agar korban mendapatkan dukungan. Justru membuat semakin runyam dengan menolak RUU-TPKS dengan berlindung pada jubah Islam.
Sebenarnya jika kita tidak menggubris narasi yang dibawa oleh kelompok tersebut, kita akan fokus terhadap keadilan yang harus berpihak kepada korban. Sebab prinsip keadilan sangat utama dalam ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup manusia.
Pada kesimpulannya, pelaku kekerasan seksual tidak memandang agama apa yang dianut, bagaimana cara dia beribadah, bahkan tidak memandang dia adalah pemuka agama atau tidak. Jika seseorang tidak mengendalikan nafsu dan melampiaskan kepada hal yang tidak baik, maka terjadilah kekerasan seksual tersebut.
Stop menghubungkan agama dengan pelaku kekerasan seksual. Pelaku berasal dari kalangan mana saja, bahkan orang paling dekatpun, bisa menjadi pelaku kekerasan seksual. Wallahu a’lam
Leave a Review