SEBUTAN habib bagi warga Indonesia keturunan Arab dikenal di masyarakat. Mereka mengaku sebagai dzuriyat atau keturunan Nabi Muhammad SAW.
Tapi tidak semua dari kaum habaib itu bersedia disebut “Habib”. Prof Dr Muhammad Quraish Shihab, di antaranya, keberatan dipanggil Habib. Ia lebih memilih dipanggil Ustadz. Karena beban yang harus ditanggung, bila tidak bisa meneladani akhlak Rasulullah SAW.
Lalu bagaimana panggilan Habib itu timbul di Indonesia? Berikut catatan Dr. Abdi Kurnia Djohan, SH:
Tahun 2006, saya pernah diperlihatkan sebuah buku tua tentang sejarah habaib di Nusantara, oleh seorang sayyid dari keluarga al-Baiti. Di dalam buku itu, ditulis kalau tidak salah ingat, bahwa penyebutan “habib” untuk pertama kali diperkenalkan oleh al-Imam al-Faqih al-Muqaddam Sayyid Muhammad bin Ali Shahib ul-Mirbath.
Diperkenalkannya istilah “habib” itu dimaksudkan untuk mengganti penyebutan “sayyid”. Ada sejarah di balik penyebutan itu. Ketika rombongan al-Imam Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir (dalam tawasul ratib biasanya disebut “Sayidinal Muhajir Ilallah” – AM) tiba di Yaman, sebagian kepala qabilah menaruh hasad kepada mereka. Para kepala qabilah itu menganggap bahwa kehadiran keturunan Rasulullah itu akan memudarkan pamor para kepala suku tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa fanatisme kesukuan di kalangan bangsa Arab, termasuk Yaman, sangatlah kuat. Nama-nama qabilah asli Yaman adalah Basuwaidan (Baswedan), Bafadhal, Bajubair (Bajeber), Bajuray (Bajerei), Bamasymusy, Bab Kheir, Baub Said, Bahasuwan, Bahalwan, al-Afifi, al-Yafi’i, Ba’asyir, Bawazir, al-Ghaity dan masih banyak lagi.
Karena kedengkian sebagian kepala suku itu, keluarga Sayyid Imam Ahmad bin Isa selalu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Padahal, sebagaimana kabar yang disampaikan oleh Sayyidina Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, orang-orang Yaman sangat mencintai Rasulullah dan Sayyidina Ali bin Abu Thalib. Sehingga karena kecintaan itu, Rasulullah pernah mengatakan bahwa kebaikan berasal dari Yaman.
Melihat situasi yang tidak menyenangkan selama bertahun-tahun sejak kedatangan Bani Alawy di Yaman, al-Imam Muhammad bin Ali mengusulkan agar penyebutan “sayyid” itu diganti dengan “habib” yang maknanya adalah orang yang dicintai. Sekaligus penyebutan itu dimaksudkan sebagai pengingat agar semua keturunan Rasulullah, menampilkan akhlak yang dicintai semua orang.
Al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad menerjemahkan pesan datuknya itu dengan membuat kaidah tentang perilaku bagi orang yang “pantas” disebut sebagai “habib”. Menurutnya, sebutan “habib” itu merupakan beban yang sangat berat ditanggung oleh semua sayyid. Karena beratnya beban tersebut, dikabarkan bahwa di Yaman tidak banyak sayyid yang berani mengaku sebagai “habib”.
Hanya orang-orang tertentu yang menurut kebiasaan di Yaman, yang layak disebut “habib”, seperti al-Allamah al-Habib Salim bin Umar al-Syathiri, dan al-Allamah al-Habib Umar bin Hafizh. Di Mesir, Sudan, dan Suriah, banyak sayyid yang sengaja menyembunyikan identitasnya.
Kita tentu tidak menyangka bahwa Syekh Dr. Yusri Gabr adalah seorang sayyid dari garis Sayyidina Hasan. Begitu pula dengan al-Allamah Syekh Ali Jum’ah yang ternyata seorang sayyid dari garis keturunan Sayyidina Husain.
Bagaimana dengan di Nusantara? Tanpa disadari cukup banyak sayyid yang tersebar di Nusantara, baik yang berasal dari keturunan Yaman maupun yang dari Persia. Sayyid yang berasal dari Yaman, masih mempertahankan nama qabilahnya sebagaimana dipakai di Yaman.
Sedangkan, yang berasal dari Persia banyak yang tidak memperlihatkan ke-sayyid-annya karena telah melebur dengan warga lokal. Maka dari itu, kita tidak menyangka jika Mbah Mangli adalah seorang sayyid karena tidak tampak padanya tanda-tanda seorang sayyid. Demikian pula dengan Pangeran Abdul Hamid Diponegoro Eru Tjokro, yang ternyata adalah seorang sayyid.
Intinya seperti dikatakan di dalam shalawatan:
اَهلُ البيْتِ الْمُصْطَفَى الطُّهُوْرِ هُمْ اَمَانُ الْاَرْضِ فَادَّكِرِ
Demikian catatan menarik, semoga bermanfaat.
Tulisan ini sebelumnya telah terbit di Ngopibareng
Leave a Review