Kabarumat.co – Pada 27 Oktober 2023 lalu, saya pernah menulis artikel dengan judul “Politik Dinasti dan Politik Khilafah, Bahaya Mana?”. Intinya saya menyorot isu politik dinasti yang disematkan terhadap Presiden Jokowi hari-hari ini. Saya melihat ada kesamaan antara politik khilafah ala HTI yang monarki dengan yang terjadi di tanah air. Kesimpulan saya, keduanya sama-sama berbahaya. Lantas, bagaimana dengan politik identitas?
Ada yang menarik bersamaan dengan riuhnya PBNU ihwal keberpihakannya terhadap paslon 02 pada Pemilu mendatang. Ketua Umum PCNU Cianjur, Deden Usman Ridwan, mengatakan di media sosial bahwa “politik identitas lebih berbahaya daripada politik dinasti”. Ada logo NU di atas meme yang dia sebar. Statusnya sebagai ketum PCNU juga disertakan. Apa yang dia maksud di balik pernyataannya itu?
Jawabannya adalah: dukungan terhadap Prabowo-Gibran. Mengapa demikian, karena “politik dinasti” yang dia maksud adalah Gibran—anak Presiden Jokowi. Sementara itu, dia menyematkan label “politik identitas” kepada Anies Baswedan—mantan Gubernur DKI Jakarta. Anies memang distigmatisasi dengan politik identitas sejak Pilkada DKI silam, sementara Gibran saat ini dipandang sebagai bayi nepotisme.
Mengukur kebahayaan keduanya tentu harus dilakukan secara kontekstual. Dan kalau boleh saya jujur, statement semacam itu, apalagi jika keluar dari lisan Ketua PCNU, sangat memalukan. Ia menunjukkan ketidakpahaman tentang politik dinasti dan politik identitas, juga cacat nalar si penuturnya itu sendiri. Entah karena instruksi Ketua Umum PBNU atau apa, orang tersebut mengabaikan konteks daruratnya kenegarawanan saat ini.
Darurat Kenegarawanan
UGM dan UII Yogyakarta sudah mengeluarkan petisi yang meminta pemulihan demokrasi ke koridornya yang ideal. Artinya, saat ini demokrasi tengah dikorupsi untuk tujuan elektoral tertentu, hingga para guru besar turun tangan melalui kampus mereka masing-masing. Di Jakarta, sejumlah kampus juga sudah menjadwalkan petisi. Hari ini, yang diam dan bungkam hanya UIN dan jajarannya. Sebab, mereka takut pada Menag.
Darurat kewarganegarawanan itulah yang menjadi tolok ukurnya. Asal-muasal dari petisi tersebut adalah kemunduran demokrasi yang ditandai dengan tekanan politik di satu sisi dan semrawutnya keadaan sosial-masyarakat di sisi lainnya. Para kiai pecah karena dibeli. Kolusi dan nepotisme dilakukan terang-terangan, dan tidak ada gagasan untuk masa depan negara-bangsa karena yang ada di ruang publik adalah gimik belaka.
Saat ini, Indonesia menghadapi berbagai masalah serius yang melibatkan keamanan, kesejahteraan, dan integritas bangsa. Terorisme, krisis ekonomi, dan korupsi menjadi sumber keresahan nasional. Jadi mana yang lebih berbahaya, politik identitas yang secara konseptual dan isu masih gamang atau justru politik dinasti yang berkenaan dengan kesejahteraan masyarakat dan masa depan negara?
Di tengah darurat kenegarawanan, bahaya politik dinasti merayap dan menyusup ke dalam fondasi negara—tidak terbendung. Ia menggiring negara ke dalam pusaran instabilitas dan ketidakseimbangan. Sementara politik identitas? Tidak ada politik tanpa identitas. Ia tidak merusak negara sebagaimana politik dinasti melakukannya. Harusnya Ketua PCNU Cianjur itu banyak belajar lagi, tidak hanya manggut-manggut pada instruksi Ketum PBNU.
Lawan Politik Dinasti!
Umat Islam harus bersatu. Atau paling tidak, jangan mau dipecah-belah oleh pihak-pihak tertentu yang memang menginginkan suara umat Islam pecah. Membandingkan politik dinasti dan politik identitas itu ibarat membandingkan sianida dengan bensin. Keduanya memang membahayakan, dalam arti tidak bisa dimakan. Namun di saat keadaannya seperti sekarang, sentimen apa yang bisa menjadi perekat umat?
Jawabannya, tidak lain, adalah identitas. Politik yang Islam atur berbasis keadilan, maka seluruh umat memiliki tanggung jawab moral untuk memperjuangkan keadilan tersebut. Dasarnya adalah Islam. Apakah itu bahaya? Hanya orang-orang dengan pikiran dangkal yang menyebut itu sebagai politik identitas dan harus dijauhi. Faktanya, di tengah cawe-cawe politik dinasti yang barbar seperti sekarang, identitas jadi satu-satunya senjata pemersatu.
Tidak ada yang lebih berbahaya, dalam politik, daripada otoritarianisme. Sistem monarki tidak boleh diberikan tempat sedikit pun. Sebagaimana khilafah ala HTI yang mesti ditolak keras, politik dinasti juga haram menimpa Indonesia. Suksesi kepemimpinan yang sarat kolusi dan nepotisme tidak boleh dirawat dengan dalih “anti-politik identitas”. Apa yang Ketua PCNU Cianjur tampilkan adalah kenaifan dan kepandiran yang harus dilawan.
Jadi, bahaya mana antara politik dinasti dan politik identitas? Jelas jawabannya adalah politik dinasti. Dalam politik, identitas dapat menjadi rambu-rambu penguasa dalam setiap kebijakan mereka. Namun demikian, dalam politik dinasti, identitasnya adalah “kesewenang-wenangan” alias otoritarianisme. Maka mana yang akan masyarakat pilih pada Pemilu mendatang? Kecerdasan seseorang menentukan jawabannya.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Leave a Review