Jakarta – Universitas Indonesia (UI) promosikan Stanislaus Riyanta menjadi doktor di bidang Ilmu Administrasi dengan disertasinya yang berjudul Model Tata Kelola Kolaborasi dalam Pencegahan Terorisme di Indonesia.
Pada acara promosi yang digelar di Auditorium Edisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Selasa (28/6/2022), Stanislaus menjadi doktor dari Fakultas Ilmu Administrasi yang ke-14 dengan predikat Cumlaude.
Promotor dari Stanislaus adalah Prof. Dr Amy S Rahayu, M.Si, dan kopromotor adalah Dr Benny Jozua Mamoto, SH MSi.
Penelitian yang dilakukan oleh Stanislaus cukup unik, karena menganalisis masalah terorisme dengan pendekatan Ilmu Administrasi.
Konsep collaborative governance sebagai bagian dari Ilmu Administrasi, dijadikan kerangka analisis pencegahan terorisme di Indonesia.
Dalam acara promosi tersebut, Stanislaus membacakan ringkasan disertasi terutama terkait problematikan pencegahan terorisme di Indonesia.
Stanislaus menyebutkan bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih belum maksimal untuk mencegah terorisme, terbukti bahwa radikalisme dan terorisme masih terjadi di Indonesia.
Menurut Stanislaus, untuk mencegah terorisme, pemerintah harus melakukan kolaborasi tidak hanya antar lembaga/kementrian, tetapi juga dengan aktor non pemerintah seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
“Pentingnya melibatkan aktor non pemerintah karena radikalisme sebagai akar dari terorisme masif terjadi di masyarakat, sehingga unsur yang pertama kali bisa melakukan deteksi dini seharusnya adalah masyarakat.
Selain itu jika masyarakat mempunyai pemahaman yang kuat terkait ancaman radikalisme dan terorisme, maka kemauan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan perlawanan terhadap radikalisasi bisa muncul,” terang Stanislaus dalam disertasinya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Stanislaus, ditemukan berbagai fakta yang menjadi penyebab kolaborasi dalam pencegahan terorisme di Indonesia masih belum optimal.
Fakta tersebut antara lain pemahaman yang belum sama antar pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi tersebut, bahkan ditemukan pendapat yang berbeda dari pejabat pemerintah terkait terorisme, yaitu terorisme dianggap hanyalah permainan intelijen.
“Temuan lainnya adalah kapasitas terkait pencegahan radikalisme dan terorisme dari pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi yang masih kurang. Masalah lainnya adalah persoalan anggaran, dan dasar hukum bagi pihak (selain BNPT) untuk terlibat dalam pencegahan terorisme, yang dianggap belum kuat,” tulis disertasinya.
Temuan penelitian terkait pola yang baik dalam pencegahan terorisme terjadi di Jawa Tengah.
Stanislaus menyebutkan bahwa leadership yang tegas dari Gubernur Jawa Tengah membuat ruang gerak radikalisme terutama yang terjadi lewat lembaga pendidikan dapat ditekan.
Selain itu hubungan antar pihak yang terlibat dalam pencegahan terorisme di Jawa Tengah yang dikelola lewat Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) dapat menjadi rujukan daerah lain.
Dalam rekomendasinya, Stanislaus menyebutkan model collaborative governance yang digagas oleh Emerson dkk, tepat jika dijadikan kerangka kolaborasi dalam pencegahan terorisme di Indonesia.
Rekomendasi selanjutnya adalah kolaborasi antara pemangku kepentingan utama dalam pencegahan terorisme yaitu BNPT dengan pihak lain harus dilengkapi dengan anggaran, indikator keberhasilan kerja dan target yang jelas.
Selain itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam kolaborasi, termasuk masyarakat, agar kolaborasi dalam pencegahan terorisme tersebut dapat optimal.
Stanislaus Riyanta menutup pidato promosi doktoralnya dengan harapan agar penelitiannya dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Sosok yang dikenal oleh publik sebagai pengamat intelijen dan terorisme ini, sebelum menuntaskan studi doktoralnya dia telah menyelesaikan studi S2 di Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia.
Sedangkan studi tingkat sarjananya ditempuh di FMIPA Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Leave a Review