Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Stop! Normalisasi Kekerasan pada Perempuan Berdalih Islam

Stop! Normalisasi Kekerasan pada Perempuan Berdalih Islam

Beberapa hari belakangan ini media sosial riuh oleh viralnya video penggalan ceramah keagamaan dari seorang ustazah seleb, Oki Setyana Dewi. Pangkal keriuhan itu ialah isi ceramah Oki yang intinya menyuruh perempuan untuk menutup aib suami dan tidak menjelek-jelekkan suami di hadapan orang lain. Sepintas, pesan itu tidak bermasalah dan sesuai dengan ajaran Islam.

Hanya saja, ia mengambil contoh yang kurang tepat. Yaitu soal kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT. Oki mencontohkan, sepasang suami istri tengah bertengkar, lalu sang suami memukul istrinya. Dalam keadaan sembab lantaran menangis, datanglah orang tua sang istri.

Alih-alih mengadukan perbuatan sang suami, si istri justru menutup-nutupi kejadian yang sebenarnya. Ssang istri mengatakan bahwa matanya sembab karena menangis ketika berdoa dan saking rindunya kepada kedua orang tua.

Lebih lanjut Oki berpesan bahwa perempuan hendaknya tidak gampang mengumbar aib suami. Jika suami melakukan tindak kekerasan jangan mudah menuduhnya sebagai KDRT. Video itu pun viral dan mendapat respons beragam dari publik.

Jika diamati, pesan Oki dalam ceramahnya itu sebenarnya secara subtansial bagus. Yaitu menyuruh perempuan untuk menutup aib suaminya. Namun, sayangnya di saat yang sama ia seolah-olah sedang menormalisasi perilaku kekerasan terhadap perempuan dalam konteks rumah tangga, domestik.

Praktik normalisasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dengan dalih agama ini tentu merupakan penyelewengan atas ajaran Islam itu sendiri. Islam ialah agama yang tidak menoleransi kekerasan, atas alasan apa pun dan terhadap siapa pun. Jangankan terhadap perempuan, istri, di dalam Islam kita juga dilarang melakukan kekerasan terhadap hewan dan tumbuhan.

Dalam sebuah hadist Nabi dijelaskan bahwa meski di suasana peperangan, umat Islam dilarang menyerang atau melukai perempuan dan anak-anak yang tidak ikut berperang. Hadis itu menjadi dasar bahwa Islam ialah agama anti-kekerasan.

Lebih spesifik dalam konteks perempuan, Islam merupakan agama yang memiliki komitmen tinggi terhadap hak-hak perempuan. Ketika pertama kali turun di Arab, Islam merevolusi sejumlah tatanan sosial-politik-keagamaan masyarakat Arab. Salah satunya ialah membongkar kultur patriarki dan misogini yang kental di kalangan masyarakat Arab pra-Islam.

Ajaran Islam, utamanya yang menyangkut perempuan di masa itu bisa dikatakan revolusioner. Bagaimana tidak? Islam mengubah masyarakat Arab yang identik dengan kultur patriarki dan misogoni menjadi masyarakat yang lebih menghargai perempuan.

Antara lain dengan menghapus tradisi penguburan bayi perempuan yang saat itu merupakan tradisi di sejumlah suku di masyarakat Arab. Islam juga memberikan hak waris pada perempuan, meski hanya separuh dari hak waris laki-laki. Padahal, sebelum Islam datang, perempuan Arab tidak memiliki hak waris sama sekali.

Di bidang hukum, Islam memberikan hak perempuan sebagai saksi meski nilai kesaksiannya hanya separuh laki-laki. Sebelum Islam datang, perempuan Arab tidak memiliki hak untuk bersaksi di muka hukum.

Dalam konteks hubungan rumah tangga (suami-istri) Islam sangat mengedepankan pentingnya hubungan yang bertumpu pada kasih-sayang dan saling menghormati. Di dalam Islam, rumah tangga kerap dipersepsikan dengan tiga kata, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Sakinah dalam artian tenteram atau tenang, mawaddah berarti cinta-kasih, dan rahmah yang bermakna kasih sayang. Tiga hal itu merupakan tiga prasyarat mutlak rumah tangga menurut Islam.

Jadi, Islam sama sekali tidak menoleransi kekerasan dalam rumah tangga, apalagi terhadap perempuan (istri). Islam juga tidak menormalisasi KDRT terhadap peremuan dengan dalih menutup aib. KDRT bukanlah aib yang harus ditutupi, melainkan sebuah tindakan kriminal.

Maka, kita patut menyayangkan jika ada penceramah agama yang justru menormalisasi KDRT terhadap perempuan dengan dalih menutup aib. Lebih ironis lagi, sang penceramah itu juga seorang perempuan. Sebagai penceramah agama ia hendaknya berbicara sesuai ajaran Islam, bukan justru memelintir ajaran Islam itu sendiri.

Lebih dari itu, sebagai perempuan ia idealnya menunjukkan simpati, empatinya dan keberpihakannya kepada hak-hak kaum perempuan.

Advertisements