Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang memberikan pendidikan agama dan ilmu pengetahuan kepada para santri (peserta didik). Tradisionalnya, pesantren diperuntukkan untuk laki-laki dan perempuan secara terpisah. Namun, beberapa pesantren saat ini juga menyediakan fasilitas bagi perempuan.
Peran perempuan dalam pesantren telah mengalami perkembangan seiring waktu. Pada masa lalu, perempuan cenderung lebih banyak terlibat dalam pendidikan agama dan tugas-tugas rumah tangga di pesantren. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, ada peningkatan kesadaran akan pentingnya pendidikan formal dan pemberdayaan perempuan.
Seiring dengan itu, pesantren juga mulai memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih luas, termasuk pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum.
Beberapa pesantren khusus perempuan telah didirikan di berbagai tempat di Indonesia. Pesantren ini tidak hanya memberikan pendidikan agama, tetapi juga menyediakan kurikulum yang mencakup berbagai mata pelajaran seperti matematika, ilmu pengetahuan sosial, dan bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mengembangkan potensi mereka dalam berbagai bidang.
Selain pendidikan formal, pesantren juga berperan dalam mendidik perempuan dalam hal kepemimpinan, kemandirian, dan pengembangan nilai-nilai keagamaan. Beberapa pesantren perempuan juga memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang melibatkan pembelajaran keterampilan praktis seperti tata busana, seni, dan kewirausahaan.
Namun, peran perempuan dalam pesantren masih menghadapi tantangan dalam beberapa aspek. Beberapa pesantren mungkin masih mempertahankan tradisi yang lebih konservatif, yang membatasi partisipasi perempuan dalam kegiatan-kegiatan tertentu atau mengharuskan mereka untuk mengikuti aturan yang lebih ketat dibandingkan dengan pesantren laki-laki.
Namun, kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan akses yang adil terhadap pendidikan semakin meningkat di masyarakat, termasuk di kalangan pesantren.
Tidak hanya sebagai seorang yang menempuh pendidikan di pesantren, perempuan pun mampu menjadi pemimpin di pesantren. Kepemimpinan perempuan di pesantren memiliki peran yang semakin diakui dan dihargai dalam beberapa tahun terakhir.
Meskipun tradisi pesantren awalnya lebih banyak didominasi oleh laki-laki, semakin banyak perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk memimpin pesantren dan berperan aktif dalam memajukan pendidikan agama dan pemberdayaan perempuan.
Pesantren yang didirikan ada yang khusus untuk perempuan saja dan ada pula pesantren perempuan dan laki-laki. Pesantren-pesantren tersebut memberikan pendidikan agama, pengetahuan umum, dan pemberdayaan kepada para santri.
Mereka berperan dalam mengembangkan kurikulum, mengelola pesantren, dan memberikan pengarahan serta bimbingan kepada para santri, serta memberikan pembinaan rohani dan pendidikan agama kepada para santri.
Pemimpin perempuan di pesantren juga memiliki peran penting dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Mereka bekerja untuk mengubah persepsi dan tradisi yang membatasi peran perempuan dalam pesantren, serta mendorong partisipasi aktif perempuan dalam kegiatan-kegiatan pesantren dan memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Salah satu pemimpin pesantren tradisional adalah Nyai Masriyah Amvan di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy. Ia memiliki kemampuan literasi yang tinggi melalui menulis buku dengan waktu yang singkat. Gaya kepemimpinan yang digunakan oleh Nyai Marsiyah adalah gaya demokratis sehingga ia sangat terbuka dan menghargai berbagai pendapat yang berbeda.
Selain itu, pola kepemimpinan kolektif yang menjadikan pesantren sebagai wadah dan organisasi impersonal dan pembagian otorisasi dilakukan secara fungsional. Nyai Masriyah berharap pendidikan pesantren dapat mengubah cara pandang seseorang untuk mencapai sesuatu yang tidak hanya keras, tetapi juga harus dengan doa dan ibadah.
Pemimpin perempuan lainnya adalah Nyai Siti Rohmah Noor Syifa, pendiri pesantren Nurul Ulum Malang. Nyai Rohma berjuang untuk mendirikan pondok pesantren demi kepentingan umat. Tidak hanya itu, Perguruan Diniyyah Puteri di Padang Panjang pun memiliki pendiri dan pemimpin pesantren perempuan, Rahma El Yunusiyyah.
Kepemimpinan yang dilakukan oleh Rahma El Yunusiyyah bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabak kaum perempuan pada masa tersebut. Ia berpendapat bahwa mendidik perempuan sama saja dengan mendidik satu keluarga dalam rumah tangga. Kepemimpinannya ini membawa dirinya dianugerahi gelar doctor honoris causa, yakni Syekhah oleh al-Azhar pertama kali untuk titel kehormatan kepada seorang perempuan.
Kehadiran kepemimpinan perempuan di pesantren merupakan salah satu bentuk kesetaraan gender. Gus Dur mengungkapkan bahwa produk hukum Islam ada di dalam kitab fikih yang perlu dikontekstualisasikan sesuai dengan waktu dan ruang. Hal ini berusaha menentang pemikiran bahwa untuk mendapatkan kesempatan dalam menjalankan kepemimpinan dalam masyarakat haruslah laki-laki.
Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya pergeseran bidang pengembangan pendidikan pesantren. Hal ini seperti yang diungkapkan Dr. Mastuhu bahwa adanya pergeseran Pendidikan karismatik yang berstandar @ada kepercayaan kiai dianggap memiliki kekuasaan dari Tuhan yang bergeser menjadi kepemimpinan pesantren rasional yang bersandar pada keyakinan dan pandangan santri bahwa kiai memiliki kekuasaan karena ilmu pengetahuan yang dalam dan luas.
Kepemimpinan perempuan dalam pesantren dapat dilaksanakan oleh siapa pun di Indonesia. Rekontekstualisasi ajaran agama sebaiknya dilakukan untuk mengembalikan Al-Qur’an tentang perempuan yang bias kepada imajinasi para penafsir serta sejarah dan zamannya kepada pemahaman Al-Qur’an secara adil.
Ajaran Al-Qur’an di masyarakat berfokus pada doktrin persamaan dan keadilan. Kesetaraan gender ini diharapkan mampu untuk menyeimbangkan hidup di dunia sehingga kehidupan tertata dan tertib dengan mengikuti ajaran agama yang berlaku.
Leave a Review