Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Meneladani Rekam Jejak Kemanusiaan Abdurrahman Ad-Dakhil, “The Real Humanist”

Meneladani Rekam Jejak Kemanusiaan Abdurrahman Ad-Dakhil, “The Real Humanist”

Bagi masyarakat Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama (NU) bulan Desember memiliki makna tersendiri untuk diperingati. Bulan Desember adalah bulan Gus Dur. Begitu para gusdurian—pengagum, pengembang, dan penyambung pemikiran besarnya—menyebutnya. Alasan lain adalah karena pada bulan inilah, tepatnya pada Rabu 30 Desember 2009 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dipanggil keharibaan Ilahi.       

Greg Barton (2003) dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid menyatakan beberapa pemikiran besar Gus Dur terangkum dalam tiga kata kunci (keywords) yang sangat popular yaitu keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Tiga kata kunci ini bukanlah gagasan yang terpisah, melainkan satu kesatuan yang saling berkait kelindan. Ketiganya bisa dikatakan mewakili potret “manusia Indonesia” yang memahami arti beragama, berbangsa, dan bernegara. 

Persoalan-persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini terus datang silih berganti. Dari kekerasan individual hingga mengarah kekerasan sosial. Dari radikalisme agama hingga korupsi berjamaah. 

Rasa keberagamaan dan keindonesiaan kita sepertinya terus menerus digerus dengan berbagai problematika sosial yang menyesakkan. Jika hal ini terus dibiarkan maka dikhawatirkan bangsa ini akan tenggelam dalam perpecahan dan saling curiga antar sesama anak bangsa.

Di era 1980-an, Gus Dur dikenal dengan beberapa gagasan besarnya seperti reaktualisasi Islam, pribumisasi Islam dan Islam sebagai etika sosial. Menurut Gus Dur, di dalam Islam terdapat Rukun Iman dan Rukun Islam. Sesuai konteksnya, Gus Dur melihat bahwa umat Islam terlalu disibukkan dengan urusan keislamannya sehingga melupakan keindonesiaannya. Umat Islam terlalu asyik dengan ibadah individualnya dan kurang peduli dengan kondisi masyarakat sekitarnya yang berimplikasi pada ibadah sosialnya. 

Padahal di dalam Islam sendiri, kedua jenis ibadah ini harus dijalankan secara beriring sejalan. Dalam Al-Qur’an disinggung tentang interaksi individual dengan Tuhannya (hablum min Allah) dan interaksi sosial antar individu dalam lingkup sosialnya (hablum min al-nas). Ini membuktikan dan menguatkan bahwa Islam sangat concern dengan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. 

Bertolak dari pemahamannya yang mendalam tentang Islam, Gus Dur menggagas perlunya “Rukun Sosial” untuk melengkapi dimensi keberagamaan kita. Rukun sosial yang dimaksud adalah rasa kepedulian kita terhadap persoalan-persoalan kebangsaan dan kemanusiaan yang dihadapi bangsa ini. 

Dengan kepedulian dan kepekaan ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berkutat pada ibadah yang bernuansa individual belaka, tetapi juga menjangkau dan ikut menjadi problem solving bagi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. 

Dalam kasus terorisme misalnya, Islam sangat menentang tindakan-tindakan yang merusak dan destruktif seperti yang dilakukan oleh para teroris dengan mengatasnamakan Islam. Islam tidak mengajarkan cara berdakwah yang memaksa dan merusak fasilitas publik, apalagi sampai membunuh para penduduk sipil yang tidak berdosa. Tindakan-tindakan tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan (universal values of humanity) yang juga menjadi titik sentral ajaran Islam. 

Bagi Gus Dur, Islam bukanlah agama yang mengajarkan kekerasan. Aksi radikalisme telah mencoreng wajah Islam yang toleran, damai, dan menyejukkan. Islam Indonesia adalah Islam yang toleran, moderat, dan saling menghargai dalam beragama. Moderasi beragama merupakan pola keberagamaan yang harus dikembangkan dan diposting oleh umat Islam Indonesia. Bagi tokoh pengagum Mahatma Gandhi ini, kekerasan bukanlah cara-cara yang patut digunakan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan dan kemanusiaan. 

Demikian pula, Islam bukanlah agama yang melegitimasi perang dan teror antar sesama. Indonesia bukan daerah perang (dar al-harb) yang bisa dijarah seenaknya dan penduduknya dibantai dan dibunuh secara keji. Peperangan dalam Islam dilegitimasi jika umat Islam diserang atau dizalimi.

Indonesia adalah simbol kebinekaan. Keberagaman merupakan faktor pemersatu kita sebagai bangsa, bukan pemecah belah. Semangat keterbukaan dan penerimaan terhadap keberagaman terus digemakan oleh Gus Dur, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. 

Abdul Wahid Hasan (2015) menceritakan, dalam sebuah konferensi yang dilaksanakan oleh Deakin University, Australia, dengan tajuk “Islam, Modernitas, dan Globalisasi”, Gus Dur dengan sangat tajam dan lantang mengkritik dan menanggapi pernyataan Asaf Hussain, seorang Pakistan dari Universitas Terbuka Leicester, Inggris. Assaf Hussain memaparkan makalah The Islamic Resistance between Modernism and Postmodernism yang berusaha membenarkan dan mendukung perjuangan dengan kekerasan oleh Hizbullah di Timur Tengah. Menanggapi pemaparan tersebut, Gus Dur mengatakan, Islam sendiri tidak menganjurkan orang untuk berperang. Manusialah yang berperang. Saya memegangi prinsip Gandhi tanpa kekerasan. “Islam does not go to war. Men go to war, but not religious reason. I am for the Gandhian principle of non-violence”.  

Oleh karena itu, menurut Gus Dur, aksi radikalisme dan terorisme terjadi karena pemahaman yang tidak utuh, parsial, dan sepotong-sepotong terhadap Islam. Memahami Islam tidak bisa hanya secara normatif-tekstual belaka. Tetapi sebaliknya, dimensi historis-kontekstual juga harus dimaknai secara proporsional sehingga didapatkan pemahaman Islam yang komprehensif dan utuh. 

Sebagai bentuk penghargaan terhadap Islam, Gus Dur tidak memberikan pilihan lain, kecuali bahwa umat Islam harus bersikap ramah, toleran dan harmonis dengan yang lain. Gus Dur mengatakan, “Sikap lunak dan moderat tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sikap terlalu keras itulah yang keluar dari batasan-batasan ajaran agama”. 

Karena itu, dalam berbagai kesempatan, Gus Dur tidak henti-hentinya menyerukan rasa persaudaraan dan keterbukaan dengan agama yang lain, sehingga Islam benar-benar bisa tampil sebagai agama yang baik dan menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. 

Gus Dur menyerukan, “Mari kita wujudkan peradaban dimana manusia saling mencintai, saling mengerti, dan saling menghidupi. Karena persaudaraan kemanusiaan merupakan puncak dari persaudaraan yang akan memperkokoh persatuan kebangsaan dan persaudaraan keislaman”. 

Gus Dur tak henti-hentinya mengerahkan tenaga dan pikirannya memerjuangkan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan universal dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Perjuangan ini dilakukannya dengan setulus hati. 

Baginya nilai-nilai tersebut adalah akar bagi sebuah bangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan pada akhirnya ia merupakan komitmen yang nyata bagi penegakan prinsip fundamental Islam: Tauhid, Ke-Esa-an Tuhan. Dengan begitu, Gus Dur adalah seorang Muwahhid Mukhlish (seorang yang mengesakan Tuhan dengan setulus-tulusnya). 

Husein Muhammad (2012) menyatakan jika sufi martir-legendaris, Al-Hallaj berteriak: “Akulah Kebenaran”, maka Gus Dur mungkin bilang: “Akulah Kemanusiaan”. Ya, Gus Dur adalah sang pecinta manusia sebagai manusia dengan seluruh makna kemanusiaannya.  

Slogan dan semboyan antikekerasan seperti telah mendarah daging dalam diri Gus Dur. Dan itu semua bukan hanya omong kosong. Perjuangannya untuk menampilkan Islam yang harmonis sehingga menjadi agama kosmopolitan dan universal serta merangkul semua jenis manusia adalah pergumulan abadinya. 

Gus Dur memiliki prinsip. “Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah”. Kalimat yang pendek dan mudah diingat, tetapi sarat makna. 

Gus Dur dikenal dengan beragam panggilan. Ada yang menyebut bapak demokrasi, bapak pluralisme, cendekiawan, guru bangsa, pemikir ulung, dan tentu saja seorang kiai dan ulama. Ada juga yang berkelakar Gus Dur adalah bapak humoris causa, sebutan khas karena Gus Dur terkenal dengan joke-joke cerdasnya dan raihan penghargaan sebagai doktor kehormatan (doktor honoris causa) dari 10 universitas terkemuka di dunia.

Namun, kebesaran dan keharuman serta segala gelar popularitas itu tidak melunturkan kesederhanaannya. Tak berlebihan jika Guru Bangsa yang bernama asli Abdurrahman al-Dakhil ini berpesan agar di makamnya kelak tidak dituliskan kata-kata pujian. Tetapi cukup, “here rest a humanist” (di sini berbaring seorang pejuang kemanusiaan).  

***

*) Oleh: Moh Nur Fauzi, Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.

Advertisements