PEMIKIRAN kaum santri semakin terbuka. Sebagian santri terlibat dalam kegiatan kegiatan menulis sastra atau pendidikan kewartawan. Isu isu yang dibawakan juga sangat beragam diantaranya tentang toleransi antar umat beragama. Arus berbeda justru muncul di sekolah sekolah umum. Konservatisme dan paham intoleran justru berkembang.
Sejarah merekam, pesantren menjadi lembaga pendidikan keagamaan tertua yang berperan penting dalam persebaran islam hingga ke pedalaman pulau Jawa. Meski fungsi awalnya lembaga pendidikan, pesantren dinilai berfungsi sebagai sarana informasi timbal balik dengan masyarakat sekitar. Lembaga ini tumbuh sebagai corak pendidikan yang unik.
Keunikan itu dilihat dengan jeli KH. Abdurrahman Wahid dalam tulisannya “Pesantren sebagai Subkultur”. Karakteristik subkulturnya bisa dilihat dalam tiga aspek: pola kepemimpinan yang berada di luar pemerintahan desa, literatur universal yang terus dipelihara selama berabad abad, dan sistem nilai yang tersendiri yang diikuti masyarakat luas.
Dengan jalan sistem kepemimpinan, nilai, dan tradisi keilmuan, tidak mengherankan pesantren menampilkan wajah islam yang lebih akomodatif terhadap perbedaan pandangan. Sikap keagamaan yang memberi keleluasaan pada satu dari empat mazhab, rujukan pada beberapa pada ulama di bidang tasawuf dan teologi, menjadi pondasi dalam mengembangkan sikap moderatis dan toleransi. Dengan jumlah pengikut mayoritas di Indonesia, wajah semacam ini ikut merepresentasikan wajah islam Indonesia di mata dunia.
KH. Abdurrahman Wahid, pendiri the Wahid Institute, menjadi salah satu orang yang berjuang meyakinkan publik Indonesia dan dunia mengenai prinsip Islam dan agama tersebut. Ia meyakinkan publik, agama bukan buldoser yang merusak budaya budaya lokal, tak membenarkan kekerasan dan terorisme. Dan untuk itulah KH. Abdurrahman Wahid membentuk lembaga the Wahid Institute yang mempunyai visi “memperjuangkan Islam moderat dan toleran”.
Melalui jaringan pesantren, WI di masa masa awal kehadirannya memulai upaya upaya rekonsilidasi tokoh tokoh moderat pesantren untuk menyuarakan tantangan kekerasan dan intoleransi. Dalam perjalanan berikutnya, WI membangun jaringan dengan kelompok antariman dan kelompok minoritas muslim. Laporan WI juga selalu mencatat dan mendata peraturan perundang undangan terkait keagaman di tingkat nasional dan lokal. Situasi ini berguana untuk melihat faktor faktor pemicu lahirnya diskriminasi dan intoleransi.
Intoleransi yang terjadi di level kultural biasanya didukung oleh problem problem struktural seperti pembiaran atau bahkan keterlibatan negara di dalamnya. Intoleransi dan kekerasan massa terhadap kelompok minoritas disumbang pula lemahnya penegakan hukum. Pelaku pelaku kekerasan bermotif agama dihukum ringan. Lalu mereka belajar, jika massa pelakunya, dan isunya agama, hukumannya ringan.
Dengan kejelian pemikirannya pula Gus Dur dengan berani menyebut pesantren sebagai sub-kultur, meski belakangan juga mendapat kritikan. Ulasan tentang “budaya dan budaya” ini bisa ditemukan dalam tulisannya bertajuk Pesantren sebagai Subkultur dalam menggerakan tradisi terbitan LKIS Yogyakarta Maret 2001. Di tulisan itu kita menjumpai pola hubungan unik antara kiai, ustadz pesantren, nilai nilai yang dianut, termasuk hubungannya dengan pihak luar.
Corak transformasi keilmuan dan budaya melalui dengan sistem pendidikan pesantren ini mampu melahirkan sikap kaum santri yang terbuka. Penguasaan terhadap kazanah pemikiran yang beragam membuat mereka lebih luwes, akomodatif, dan tidak hitam-putih dalam menilai masalah keagamaan. Jalinan aspek dalam pesantren kemudian menjadi modal sosial (social capital) kaum santri dalam merespons dan menjalani tantangan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Modal kini pula yang dinilai menjadi dinamisator pergerakan dan perkembangan kiai dan aktivis muda yang berpikiran terbuka, toleran, dan progresif.
Leave a Review