Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Reuni 212 Tidak Menggigit dan Malu-Maluin

Reuni 212 Tidak Menggigit dan Malu-Maluin

Perhelatan akbar Reuni 212 tempo hari tak seperti yang diberitakan. Reuni 212 dielu-elukan bakal rame dan berkobar. Nyatanya, yang hadir hanya segelintir orang. Segelintir berorasi. Segelintir lainnya pergi pulang ke rumah kembali.

Melihat fakta bahwa Reuni 212 sangat tidak digemari umatnya sendiri. Rasanya yang nonton sangat geli. Kasihan, iya. Namun yang lebih kasihan lagi, apa-apa yang diharapkan mereka sebagai gerakan bertaji ternyata nihil simpati.

Melihat Aksi Segelintir Orang

Bagaimana jika karena aksi gagal kali ini mereka sudah wassalam secara politik? Karena yang mengelola tak pintar seperti pengkondisian sebelumnya? Raiblah PA 212 untuk gelenggang politik yang hanya itu menjadi sumber suara satu-satunya mereka.

Sungguh malu-maluin sebenarnya aksi mereka kali ini. Selain tak banyak orangnya. Juga mereka tak punya misi kongkrit yang ditarget. Dulu, mereka berhasil karena ada salah satu pihak yang ditarget, yaitu Ahok. Karena itu mereka banyak pendukung di Jakarta dan luar Jawa. Dan akhirnya menang dan berhasil secara angka dan berdampak.

Meski kali ini bisa dibilang ingin membuat sinyal politik untuk 2024. Tapi eksistensi mereka kurang dilirik oleh masyarakat. Mengapa? Karena sebagian besar masyarakat sudah tahu jalan permainan para pengelola aksi Reuni 212 sendiri. Kata orang urat nadinya sudah kelihatan dan tak bisa ditutupi.

Tidak Mengigit

Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai tokoh yang boleh disebut sebagai ikon 212 nyatanya juga tidak dilihat kembali. Suara-suara dari balik jeruji besi terhalangi oleh tebalnya jejak rekamnya. Seruan agar reuni dibanjiri umat, ternyata hanya banjir oleh rasa malu. Bagaimana tidak, orang-orang yang mau aksi tak tahu titik kumpul. Mereka tak tahu siapa yang menggerakkannya. Mereka tak tahu apa yang harus diperbuat.

Artinya, kali ini Reuni 212, terlihat tak ada pengkondisian yang baik. Terutama mereka terbelah secara sendirinya. Terlihat, yang aksi, mereka seperti bergerak setengah hati. Hitung-hitung, mau tidak gerak, tidak ada kerjaan lagi. Mau bergerak, menyadari kalau tidak mungkin berefek sama sekali. Dan hanya malu-maluin.

Aksi 212 sudah lesu. Apalagi Anis Baswedan yang digadang-gadang menjadi kandidat presiden 2024 posisinya berada dalam posisi dilema. Jika mau menghadiri acara reuni tersebut, secara politik tidak menguntungkan, karena bakal dicap mendukung gerakan kanan. Dan kalau itu terjadi, dan isu tersebut disebar di 2024, maka matilah langkah Anis ke depan. Tapi kalua tidak mau hadir dianggap kacang lupa kulit.

Bahkan bisa dilihat, Anis tampak menghitung diri. Anis mulai berjarak dengan mereka atas kepentingan Pilres 2024. Reuni 212 kali ini, jangankan hadir, izinpun tak ia kasih. Jika hadir, atau ngasih izin, pastilah besok Anis akan menjadi bulan-bulanan semua orang karena mendukung gerakan dari orang-orang yang cacat secara hukum.

Mati Langkah

Sungguh kurang gereget dan kasihan sebenarnya. Isu-isu yang diangkat pada gerakan hari lalu juga terlalu ngambang. Mereka hanya berteriak dan bertakbir sesukanya. Karena tidak ada isu yang bisa diperjualbelikan dan ditawarkan. Di lapangan, mereka hanya membasahi kuncup mic dan buang-buang suara.

Selain tak ada isu-isu besar, gerak mereka tak memiliki konteks yang lebih kongkret seperti pada Pilkada DKI 2017. Menurut banyak peneliti, perhelatan Reuni 212 kali ini, tidak relevan untuk diselenggarakan. Alih-alih reuni, mungkin akan lebih bermakna kalau para penyelenggara dan pendukung kegiatan tersebut mengatur strategi guna mempersiapkan diri di Pemilu 2024 dengan cara yang lebih elegan.

Tapi nyatanya mereka lebih memilih jalan teriak di persimpangan jalan. Mungkin dianggapnya dengan berteriak di jalan bakal dianggap bertaji dan mendapatkan dukungan seperti pada kasus Ahok. Yang mereka tak lihat adalah bagaimana dinamika yang berkembang di luar dirinya. Yakni, orang-orang sudah kurang tertarik pada teriakan-teriakan obral isu agama.

Sudah bukannya zamannya agama menjadi alat teriakan politik. Isu-isu agama jika tetap dimainkan, justru yang ada malah menimpa dirinya. Lihat sepanjang dua dasawarnya ini, banyak agamawan yang malah tercebur dalam jurang mematikan. Para agamawan ini terkikis secara idealis dan merasa kalah, yang paa akhirnya memilih jalan pintas: bergabung dengan para teroris.

Karena sebenarnya, isu agama-agama yang mereka angkat adalah makanan empuk bagi kelompok teroris. Mereka pastilah memanfaatkan isu untuk menghajar lawannya. Dan agamawan ini, hanya punya modal agama, ayat, dan kata kunci-kata kunci. Mereka adalah barang murah.