Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

MUI vis-à-vis BNPT Tentang Ciri Penceramah Radikal: Siapa yang Gagal Paham?

MUI vis-à-vis BNPT Tentang Ciri Penceramah Radikal: Siapa yang Gagal Paham?

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengkritik lima ciri penceramah radikal yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Amirsyah menyebut langkah BNPT itu blunder. Kritik itu disampaikan Amirsyah dalam keterangan tertulis berjudul ‘Blunder Kriteria Radikal Ala BNPT’ (detiknews, 8/3/2022). Menurutnya, BNPT tidak berhak untuk berkomentar dan tidak mencampuri yang bukan domainnya, karena bisa gagal paham yang digunakan untuk tuding-menuding radikal.

Intinya Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) keberatan dan tidak setuju dengan lima ciri penceramah radikal yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sehingga, ia merasa perlu untuk membuat surat pernyataan yang bernuansa “bantahan”.

Ciri Penceramah Radikal Menurut BNPT

Agar diskusi menjadi menarik dan menemukan titik temu antara kritikan Sekjen MUI dan pernyataan BNPT, maka saya akan kutipkan ciri-ciri atau lima kriteria penceramah radikal yang disebutkan BNPT, sebagai berikut.

Pertama, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan pro-ideologi khilafah transnasional.

Kedua, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan paham takfiri atau mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham ataupun berbeda agama.

Ketiga, ciri penceramah radikal yang disampaikan BNPT adalah mereka yang menanamkan sikap anti-pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, ujaran kebencian (hate speech), dan menyebarkan berita bohong (hoax).

Keempat, ciri penceramah radikal menurut BNPT adalah mereka yang memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan ataupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman.

Kelima, ciri penceramah radikal disampaikan BNPT yaitu penceramah yang biasanya memiliki pandangan anti-budaya atau anti-kearifan lokal keagamaan.

Kritik Sekjen MUI

Untuk ciri yang pertama, Sekjen MUI mengatakan blunder. Karena menurutnya, BNPT tidak paham pada ajaran Islam seperti khilafah. Khilafah menurutnya pula adalah tidak negatif, tetapi justru adalah ajaran yang baik, kendati bisa mengatasi problem umat dan bangsa. Yang bertentangan dengan Pancasila menurutnya adalah paham yang menyebabkan ekonomi rakyat terpuruk, seperti komunisme dan oligarki.

Untuk ciri kedua, ketiga, keempat, dan kelima, Sekjen MUI berbalik dengan apa yang disampaikan BNPT. MUI bersikukuh bahwa semua yang diterangkan BNPT, gagal paham belaka akan Islam dan hanya blunder belaka. Secara tersirat, MUI mengatakan bahwa pada wilayah ini bukanlah kapasitas BNPT untuk menilai, mengidentifikasi, dan menyelediki tentang paham keagamaan. Meski di BNPT sendiri ada ustaz dan ulama, seperti Habib Lutfi dan lain-lain.

Misalnya, ketika BNPT mengatakan orang radikal berciri cenderung eksklusif dan sering mengkafirkan orang, jawaban MUI menganggap BNPT gagal paham. Karena dalam agama (Islam) menurut MUI, memang diwajibkan untuk eksklusif. Sementara kata kafir, bagi MUI memang harus disebutkan jika menyebut orang yang beragama lain selain Islam.

“Soal takfiri jangan disalahpahami karena dalam Islam, semua yang beragama lain (non-Islam), itu memang disebut kafir. Jika memerangi umat Islam disebut kafir Harbi, sementara jika berdampingan hidup damai dengan umat Islam disebut kafir Dzimmi,” ujar Amirsyah. Namun demikian, ulama NU sepakat bahwa non-Muslim di Indonesia tidak boleh dikatakan kafir. Karena, selain mereka tidak memerangi dan membuat bahaya, mereka juga hidup di negara yang aman dan tenteram seperti Indonesia.

Siapa yang Gagal Paham?

Kembali ke ciri penceramah radikal lagi, melihat perdebatan di atas, siapa sesungguhnya yang gagal paham dan blunder. Mengenai lima ciri yang disebutkan BNPT, sesungguhnya banyak ulama yang lebih dulu sudah menyatakan hal yang sama, bahkan lebih dalam lagi.

Misalnya Syaikh Yusuf Qardawi yang merupakan seorang muftimujtahid dan pernah menjadi ketua majelis fatwa yang paling disegani dalam dunia Islam. Beliau mengatakan bahwa ciri/ kriteria kelompok radikal setidaknya ada enam.

Pertama, klaim kebenaran tunggal, yakni mengaku bahwa dirinya yang paling benar dalam beragama. Sedang yang lain salah. Kedua, mempersulit agama, yakni ibadah sunnah seakan-akan menjadi ibadah wajib. Ketiga, berlebih-lebihan dalam beragama. Keempat, bersikap dan berbicara kasar, atau selalu emosional dalam berdakwah dan besosial. Kelima, negative thingking, selalu berprasangka buruk pada penganut paham lain. Dan Keenam, sering mengkafirkan orang lain, di mana mereka menganggap orang yang bukan golongannya adalah kafir dan wajib halal darahnya.

Jadi, kalau kita pahami, lima ciri penceramah radikal yang disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidaklah baru, bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan pernyataan Syaikh Yusuf Qardawi. Artinya, pernyataan BNPT sudah terkonfirmasi dengan sebuah pernyataan telak dari Syaikh pemuka agama kebanggaan MUI sendiri.

Jika demikian, sebenarnya siapa yang blunder dan gagal paham tentang ciri-ciri penceramah radikal tersebut, di mana Syaikh Yusuf Qardawi juga menyebutnya?