Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Jilbab untuk Apa: Merenungi Kembali Makna Jilbab untuk Tubuh Perempuan

Tulisan ini berawal dari diskusi penulis bersama beberapa kawan di warung kopi. Kala itu kami berbincang tentang seorang perempuan yang sama-sama kami kenal. Beberapa tahun yang lalu, ia diketahui sebagai sosok yang selalu menggunakan pakaian panjang, tidak menampakkan lekuk tubuh, serta berkerudung panjang menutup dada. Jelas ia ahli jilbab.

 

Lantas ketika ia mengenal apa dan bagaimana gender serta feminisme, penampilannya berubah 1800. Ia tidak lagi mengenakan kerudung panjangnya, modelnya pun menjadi lebih terbuka. Ketika sebayanya bertanya, ia menjawab, “Ini tubuhku, terserah aku bagaimana memperlakukan diriku seperti apa.”

 

Hal ini sontak membuat teman-temannya kaget. Mereka pun mengatakan bahwa perempuan ini sudah menyatakan setuju tentang pelepasan jilbab, walau ia belum benar-benar siap melakukannya.

 

Di sela kediaman, seseorang menanggapi, “Aku tak masalah jika ia berpendapat demikian, namun sebagai akademisi setidaknya ia bisa menggunakan diksi yang lebih akademis. Misalnya ia berubah seperti itu karena memiliki dalil yang kuat bahwa apa yang diyakininya adalah benar. Bukan dengan keegoisannya menyatakan seakan-akan ia sedang hidup sendirian di bumi ini.”

 

Penulis mencoba merenungi pernyataannya, barangkali pernyataan orang yang kami bicarakan tadi adalah benar, namun mungkin juga perlu adanya keyakinan atau i’tiqad yang harus dipegang erat-erat, adanya sebuah alasan kuat, sehingga hidup kita tidak terombang-ambing tanpa jalan yang tepat.

 

Dalam beberapa keyakinan, memanglah ada ditentukan bahwa menutup tubuh perempuan dengan pakaian serba panjang dan kerudung yang menutup kepala merupakan sebuah kewajiban. Penulis sendiri pun belajar hal itu sedari kecil dan dididik untuk menutup yang disebut “aurat perempuan”.

 

Namun semakin ke sini, dengan berbagai pendapat ulama serta interpretasi para ahli agama, pemaknaan “aurat” menjadi begitu luas serta beragam. Hal inipun disertai sejarah historis bagaimana jilbab itu ada dan bagaimana akhirnya merambah kepada keyakinan banyak perempuan muslim pada umumnya. Barangkali ayat ini adalah salah satu dalil yang telah menjadi acuan kita selama ini.

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ يُدۡنِينَ عَلَيۡهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَن يُعۡرَفۡنَ فَلَا يُؤۡذَيۡنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا  ٥٩

 

“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan tiap perempuan yang beriman. Hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka. Dengan pakaian yang sama, lebih mudah dikenal, tidak akan diganggu lagi. Dan Allah adalah Maha Pengampun serta Maha Penyanyang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

 

Perlu dianalisis lebih dalam, bagaimana asbabun nuzul dari turunnya ayat di atas. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa guna jilbab pada masa itu adalah untuk membedakan ciri perempuan terhormat dan budak.[1]

 

Hal serupa juga terdapat dalam tafsir ath-Thabari yang mana ayat tersebut turun atas kisah Nabi SAW yang datang ke Madinah. Pada suatu malam, istri-istri Nabi SAW serta perempuan lain keluar rumah untuk membuang hajat. Namun di jalan banyak laki-laki yang menggoda. Ketika pulang, mereka mengadukan diri kepada Nabi.

 

Beliau pun menegur para lelaki tadi, dan mereka mengatakan, “kami kira mereka adalah wanita hamba.”[2] Turunnya ayat ini kemudian menjadi perintah bagi para perempuan terhormat agar menggunakan jilbab mereka ketika keluar rumah, sehingga bisa dibedakan dengan perempuan budak.

 

Kita sendiri sudah tahu, bahwa zaman sekarang sudah tidak berlaku sistem perbudakan. Lantas ayat tersebut juga turun karena ada sebab peristiwa yang terjadi. Tentunya hal tersebut terjadi di Negeri Arab, bukan negeri yang lain.

 

Penggunaan jilbab akhirnya dilangsungkan dan dilanjutkan di tanah yang sama sebagai bentuk penghormatan diri, usaha alternatif dalam menjaga keamanan pribadi, dan membentuk budaya dalam menjaga kesopanan sebagai perempuan terhormat. Jika memang yang dimaksudkan oleh ayat tersebut kontekstual pada waktu dan tempat itu saja, tentunya hal ini tidak menjadi masalah bagi perempuan-perempuan di negeri lain.

 

Apalagi disebutkan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, dkk, bahwa jilbab sendiri adalah selendang pada kerudung, atau kini dikenal sebagai gamis.[3] Tentunya ukuran ditutupnya rambut juga tidak dijabarkan begitu jelas. Dengan ini perempuan bisa menentukan jalannya sendiri, baik ingin berkerudung panjang, berkerudung pendek, atau tidak berkerudung.

 

Pemaknaan tentang jilbab memang masih melalui perdebatan yang begitu panjang, apalagi ketika berdialog dengan para ahli agama normatif. Pilihan perempuan untuk tidak berjilbab pun seringkali menjadi olokan dan gunjingan. Memilih untuk menutup telinga dan sadar bahwa tubuh adalah milik diri sendiri adalah baik.

 

Dan mungkin lebih baik lagi dalam segala pilihan tersebut punya dasar yang cukup kuat sehingga bisa meyakinkan diri serta orang lain bahwa apa yang diputuskan bukanlah suatu kesalahan yang patut dipermasalahkan.

 

[1] Ismail bin Katsir, Mudah Tafsir ibn Katsir, volume 5, (Jakarta Timur: Maghfiroh Pustaka, 2017), 425

 

[2] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, volume 21, (Jakarta Selatan: Pusaka Azzam, 2007), 228

 

[3] Ismail bin Katsir, Mudah Tafsir ibn Katsir, 425

Advertisements