Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Anak Muda, Islamisme, dan Moderasi Beragama

Anak Muda, Islamisme, dan Moderasi Beragama

Dalam suasana peringatan Sumpah Pemuda ke-93 saat ini, saya ingin berbagi renungan tentang anak muda, semangat beragama dan jalan politiknya. Anak-anak muda, terutama yang tumbuh di perkotaan, berasal dari keluarga menengah atau priyayi dan umumnya mengenyam pendidikan umum, belakangan mengalami semangat beragama yang tinggi.

Semangat ini tumbuh bukan tiba-tiba, melainkan telah dipupuk sejak SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Mereka aktif dalam kajian keislaman yang diselenggarakan unit kerohanian.  

Mereka belajar Islam dari mentor dan sumber-sumber keagamaan yang khas. Mereka dikenalkan tentang konsep jahiliyah modern, khilafah dan thaghut. Mereka dipompa semangatnya untuk menjadi muslim yang taat, baik dalam shalat maupun dalam keluarga dan kenegaraan. Mereka juga dididik untuk berdakwah dan berpolitik sekaligus.

Mereka sangat percaya diri menggunakan simbol-simbol Islam. Jalan pikirannya sangat politis meski masih usia belia. Analisanya tentang kemunduran umat Islam selalu dikaitkan dengan kekalahan politik umat Islam dalam kepemimpinan nasional.

Sepanjang umat Islam tidak menguasai parlemen dan pemerintahan, kepentingan umat Islam pasti tidak diperhatikan. Begitu kata mereka. Celakanya, yang dimaksud umat Islam bukanlah umumnya umat Islam, melainkan kelompok mereka sendiri.  

Perjuangan politik mereka ingin menegakkan negara Islam. Entah terang-terangan atau tersembunyi. Jika ada momentum politik (pilkada atau pemilu), mereka aktif dukung-mendukung calon yang disukai.

Berbagai cara digunakan untuk memenangkan calon yang sesuai dengan visinya, termasuk dengan politisasi agama. Jika pemenangnya bukan calon yang didukung, mereka akan menyerang dan memusuhi pemerintahan yang sah.

Mereka menempatkan diri sebagai oposisi, bukan hanya politik tetapi juga teologis bagi pemerintah. Pemerintah adalah minhum (dari golongan mereka), bukan minna (dari golongan kita).

Jika mereka berdakwah, dakwahnya cenderung keras dan intoleran. Gampang membid’ahkan orang lain. Mereka bangga sekali melakukan nahi munkar dan menganggap Muslim lain lembek karena mereka hanya melakukan a

mar makruf dan tidak mengerjakan nahi munkar. Anak-anak muda ini memilih jalan beragama yang cenderung politis (Islamisme).

Pengikut Islamisme
Secara teoritis, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan Islamisme (Tibi, 2016). Islam adalah agama dan sistem keyakinan yang bersumber dari Allah Swt, disampaikan kepada seluruh manusia melalui Rasulullah Saw. Seluruh ajarannya termaktub dalam Alquran dan hadits, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah.

Islam sebagai agama juga mengajarkan politik (disebut politik Islam) kepada umatnya, seperti soal imamah (kepemimpinan), syura (musyawarah), kemaslahatan, keadilan dan lain-lain. Politik (al-siyasah) Islam menurut Ibn Aqil adalah kebijakan yang nyata-nyata menjadikan manusia makin dekat pada kebaikan dan menjauhi kerusakan, meski tidak dibuat oleh Rasulullah Saw dan tidak disinggung oleh wahyu (ma kana fi’lan yakunu ma’ahu al-nasu aqrabu ila al-shalahi wa ab’ada ‘ani al-fasadi, wa in lam yadha’hu al-rasulu wa la nazala bihi wahyun).

Berdasarkan rumusan di atas, politik Islam merupakan high politics, yaitu politik tinggi yang memikirkan kepentingan kebangsaan-kerakyatan. Soal keadilan, penanganan kemiskinan, penegakan hukum, termasuk menentukan sistem politik yang tepat untuk Negara yang plural juga bagian dari politik tinggi.

Islam sebagai agama tidak mengajarkan umatnya untuk memusuhi sistem demokrasi, kerajaan atau sistem pemerintahan apapun sebagai thaghut (sesuatu yang berasal dari selain Allah Swt). Sebagaimana khilafah, demokrasi merupakan sistem pemerintahan sebagai hasil karya ijtihadiyah manusia untuk mengelola dunia ini.

Bedanya, sistem demokrasi boleh dikritik. Sedangkan sistem khilafah selalu merasa benar dan tidak menerima kritik. Bahkan, yang menolak khilafah hukumnya kafir. Gagasan tentang khilafah tidak akan landing bila bersikap angkuh dan selalu merasa benar. Berbeda halnya dengan demokrasi. Setiap orang bebas menerima atau menolak demokrasi.

Bahkan, demokrasi dianggap sistem pemerintah yang buruk, namunia paling baik di antara sistem pemerintahan yang pernah digagas manusia. Demokrasi tidak mengklaim diri sebagai produk yang bersumber dari wahyu. Oleh karena itu, sah saja kalau demokrasi dikritik dan diperbaiki. Inilah ketawadhuan demokrasi. Bandingkan dengan gagasan khilafah yang sudah angkuh sejak dalam pikiran.

Anak-anak muda mestinya open minded, cerdas dan inklusif dalam beragama. Mereka mengikuti Islamisme karena pengaruh seniornya yang berpikiran serba politis. Mereka terdoktrin sedemikian rupa dan kepenthok, seolah tidak ada jalan kembali. Agar mereka dapat berpikir terbuka dan berwawasan keagamaan yang luas, mau tidak mau, mereka harus belajar agama lebih komprehensif kepada guru yang tepat.

Mereka perlu mengaji lagi kepada kyai yang otoritatif dalam mengajarkan agama. Memperbanyak bacaan, memperluas jaringan pertemanan dan pengajian akan memudahkan mereka untuk melihat betapa indah dan luasnya agama Islam.

Islamisme sangat berbeda dengan Islam. Islamisme merupakan Islam politik. Ia menggunakan agama untuk tujuan politik (baca: politisasi agama). Menurut Tibi (h. 1), Islamisme bukan semata politik, tapi politik yang diagamaisasikan. Agamaisasi politik berarti promosi suatu tatanan politik yang dipercaya berasal dari wahyu, dan bukan berdasarkan kedaulatan rakyat. Islamisme tumbuh dari interpretasi atas Islam, tetapi ia bukanlah Islam. Ia merupakan ideologi politik yang berbeda dengan ajaran agama Islam.

Islamisme sering disalahpahami sebagai kebangkitan Islam. Padahal yang terjadi adalah menguatnya penggunaan simbol-simbol agama untuk tujuan politik. Kebangkitan Islam tidak cukup didasarkan pada eforia politik semata.

Kebangkitan Islam harus tumbuh dari kesadaran umat Islam untuk melaksanakan ajaran Islam secara ikhlas dan jujur, membangun ilmu dan peradaban Islam, tanpa tendensi politik kasta rendah. Kebangkitan Islam juga mesti mencontoh teladan Rasulullah Saw yang sukses mengislamkan jazirah Arab dengan sejuk dan damai.

Jalan Moderat
Anak-anak muda yang sedang semangat beragama, tidak sedikit yang memilih jalan beragama yang ekstrim. Dakwahnya kurang ramah terhadap perbedaan. Keras dan tidak toleran terhadap penganut agama lain. mereka juga kerap memusuhi tradisi atau kearifan lokal. Jika anak-anak muda itu mau sedikit belajar lebih dalam tentang Islam, pasti dijumpai teladan kehidupan Rasulullah SAW yang ideal bagi umatnya.

Rasul mengajarkan cara beragama yang humanis dan moderat. Rasul mengajarkan kewajiban shalat hanya lima kali dalam sehari semalam. Shalat yang lain hukumnya sunnah. Kewajiban shalat ini moderat, tidak berat tidak juga ringan. Waktu-waktu yang diwajibkan untuk shalat juga manusiawi sekali. Yakni di waktu-waktu di mana kita sedang istirahat atau harus istirahat.

Kewajiban zakat tidak dibebankan kepada semua umat Islam. Hanya yang mampu dan hartanya memenuhi syarat haul dan nisablah yang diwajibkan zakat. Tariff zakatnya juga tidak banyak. Hanya 2,5 % saja. Tarif zakat lebih rendah daripada kewajiban pajak kita kepada Negara. Selebihnya hukumnya sunnah.

Kewajiban zakat sangat moderat dan tidak memberatkan. Dua contoh di atas menggambarkan betapa ajaran Islam itu manusiawi dan tidak memberatkan.

Karena itu, untuk menjadi muslim yang taat tidak perlu menjadi ekstrim. Amar makruf dan nahi munkar dilaksanakan secara seimbang. Yang makruf lebih ditekankan mengingat mengajak pada kebaikan lebih mudah dilaksanakan dan tanpa resiko.

Dakwah untuk menghilangkan kemunkaran harus lebih cermat dipikirkan caranya karena ada singgungan dengan kewenangan Negara untuk menjamin ketertiban dan kedamaian masyarakat.

Akhir kata, beragama di jalan tengah, tidak ekstrim kiri atau kanan, merupakan ajaran Islam yang otentik. Beragama yang moderat bukanlah mengamalkan agama secara dangkal. Sebaliknya, beragama secara moderat berarti beragama sesuai dengan yang diajarkan dalam kitab suci.

Karena itu, pemerintah mendorong penguatan moderasi beragama agar agama menjadi inspirasi bagi kemanusiaan dan kemajuan suatu bangsa. Inilah jalan beragama yang mesti diambil oleh kalangan muda.