Musibah menimpa dai kondang asal Sumatra Utara. Sepakan terakhir, Abdul Somad ramai diperbincangkan setelah tersiar kabar ia dideportasi dari Singapura. Imigrasi setempat menolak dai kondang itu yang datang untuk berlibur bersama keluarga dan beberapa rekan.
Sekian jam sebelum dikemukakan alasan yang jelas oleh pihak terkait, atensi muncul dari beberapa public figure di Indonesia. Mulai dari agamawan hingga politisi. Kita memahami respon demikian disebabkan popularitas dan massa yang dimilikinya di tanah air. Setelah atensi negatif mengemuka lalu diperkuat lagi oleh desakan dari Kedutaan Besar RI di Singapura yang menuntut kejelasan.
KBRI melayangkan Nota Diplomatik kepada Kementerian Luar Negeri Singapura terkait kasus tersebut. Tensi di lapangan masih sama bahkan ketika Kementerian Dalam Negeri Singapura memberi benang merah permasalahan. Setidaknya ada empat hal yang menjadi hujah tidak diterimanya kedatangan Abdul Somad di sana. Keempat hal tersebut terkait langsung dengan rekam jejak—atau lebih tepatnya ceramah kontroversi—Abdul Somad beberapa tahun lalu.
Seperti kita mafhum sebelumnya, ia memang bukan sekali dua kali membuat heboh masyarakat Indonesia. Mulai dari ceramah ihwal haramnya catur hingga salib yang dianggap sebagai tempat jin kafir. Atas dasar tersebut, Kemendagri Singapura memberikan kesimpulan bahwa Abdul Somad menyebarkan paham ekstremis.
Dalam hal ini saya menilai bahwa pihak Kemendagri terlalu terburu-buru dan cenderung simplistis. Sebagai tambahan, dinyatakan pula bahwa gerakannya tak cocok di tengah masyarakat multiras dan multiagama seperti Singapura.
Dari tragedi yang menimpa dai kondang itu, justru muncul praduga-praduga yang menyeret term Islamofobia. Lema itu bukan tergolong sebagai baru di telinga saya, bahkan masyarakat Indonesia secara umum. Fahri Hamzah, mantan politikus PKS, salah seorang yang yang melempar term tersebut ke gelanggang.
Ia menyatakan bahwa kasus yang menimpa Abdul Somad memberikan eksplanasi bahwa Islamofobia tumbuh menjamur, tidak hanya di luar negeri, melainkan dalam negeri juga. Ia memang bukan satu-satunya yang menyeret term itu ke gelanggang. Kendati demikian, saya pikir Fahrilah yang menyulut sumbu lema Islamofobia yang kemudian banyak diamini oleh para pengikutnya.
Reduksi “Makna” Islamofobia
Islamofobia bukan neologisme dan bukan pula kata baru-baru ini dalam diskursus agama Islam. Kata ini muncul sebagai gambaran dari ketakutan yang berlebihan di negara-negara Barat terhadap Islam. Sebagaimana fobia-fobia lain, itu juga punya penekanan pada ketakutan khusus, ketakutan terhadap Islam.
Di Amerika, hal demikian justru menyeruak pascakejadian Selasa Kelabu. Dua serangan yang menjadikan New York City dan Washington pada 11 September 2001 sebagai sasaran tembak. Kejadian itu pula yang membuat telunjuk George Bush langsung mengarah pada Osama bin Laden yang dituding sebagai dalang beserta al-Qaeda-nya.
Labelling teroris terhadap umat Islam tak bisa dihindari semenjak kejadian tersebut. Dilanjut kejadian demi kejadian yang datang silih berganti namun punya motif yang senyawa dengan Tragedi 9/11 yakni terosisme dan kekerasan atas nama agama. Itulah fenomena pemantik ketakutan berlebihan terhadap Islam.
Dari kacamata yang berbeda, kita akan menemukan satu hal yang cukup menarik bahwa ketakutan atau bahkan kebencian terhadap Islam di Barat sudah muncul embrionya pada tahun 70-an. Pada gilirannya melahirkan lema Islamofobia yang implikasinya menjadikan lema itu masih terngiang-ngiang bahkan dipakai hingga sekarang. Serta juga dianggap menemukan relevansinya ketika seorang dai dideportasi.
Saya adalah orang tidak sepakat bahwa kejadian yang menimpa Abdul Somad bisa dianggap sebagai ilustrasi Islamofobia. Dengan kata lain, saya menentang anggapan yang menyatakan penolakan Otoritas Imigrasi Singapura sebagai tindak tanduk ketakutan (yang khusus dan berlebihan) terhadap Islam.
Argumen saya antara lain karena apa yang dilakukan oleh Otoritas Imigrasi Singapura bukan berdasarkan pada ketakutan berlebihan yang secara khusus diarahkan pada Islam. Saya menilai hal tersebut sebagai usaha defensif demi dan atas nama stabilitas negara yang diarahkan pada Abdul Somad(per se).
Penolak yang diterimanya tidak bisa dijustifikasi sebagai penolakan dan kebencian terhadap Islam. Sekalipun ia dicap sebagai pemuka agama, tidak lantas menjadi representasi mutlak dari Islam—yang jika ia dikotori maka diklaim mengotori Islam. Ia hanya bagian kecil dari umat Islam, terlepas dari kelas sosialnya yang didudukkan lebih tinggi daripada yang lain.
Jika kenyataannya memang demikian, kira-kira lema apa yang tepat untuk menggambarkan itu? Alih-alih menggunakan Islamofobia, kita bisa mengambil lema alternalif, semisal Somadfobia atau hal sejenis itu yang diatribusikan pada Abdul Somad secara personal.
Itu dimaksudkan agar penggunaan term Islamofobia tidak sekenanya. Ada indikor suatu hal bisa dimasukkan sebagai Islamofobia atau tidak. Tatkala kita memahami dengan betul apa itu (definisi) Islamofobia, dampak terbaiknya akan menggunakannya dengan presisi dan tak salah sasaran. Tidak adil rasanya jika menaruh sesuatu(dalam konteks ini term) tidak pada tempat semestinya. Kita harus adil sejak dalam penggunaan kata!
Leave a Review