Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Waspada Infiltrasi Sistemik Terorisme ke Lembaga Keagamaan

Waspada Infiltrasi Sistemik Terorisme ke Lembaga Keagamaan

Beberapa waktu yang lalu, publik dihebohkan dengan penangkapan seorang anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI), Zain an Najah. Polemik pun bermunculan. Para simpatisan gerakan terorisme menuding pemerintah bertindak zalim. Narasi “kriminalisasi ulama” dan “rezim Islamofobia”, pun berkumandang di media sosial bersama isu infiltrasi terorisme.

Bahkan, MUI Jakarta membentuk pasukan siber (cyber army) untuk membangun narasi dukungan pada lembaga tersebut. Sebuah hal yang tentu disayangkan. Di tengah terpaan isu radikalisme dan terorisme, MUI seharusnya tidak fokus pada upaya membangun pencitraan. Melainkan fokus membenahi institusi dan lembaganya agar steril dari paham radikal-terorisme.

Terungkapnya oknum MUI dalam jaringan Jamaah Islamiyyah (JI) menunjukkan bahwa gerakan terorisme telah bermetamorfosis dan bertransformasi. Perubahan paling mencolok ialah pola gerakan yang sebelumnya berorientasi pada infiltrasi sosiologis, kini mulai mengarah pada infiltrasi sistemik.

Sebelumnya, organisasi teroris seperti JI lebih banyak menyasar masyarakat awam sebagai targetnya. Mendapatkan pengikut sebanyak mungkin dan memiliki simpatisan militan ialah target semua kelompok teroris.

Upaya ini dalam banyak hal mendapatkan berbagai tantangan di lapangan. Salah satunya ialah masifnya aparat keamanan memburu jaringan teroris. Akibatnya, mereka kehilangan ruang gerak untuk bermanuver dan mencari pengikut.

Keterbatasan ruang gerak inilah yang tampaknya membuat kelompok teroris mengubah orientasi gerakan dan arah infiltrasi. Belakangan, infiltrasi terorisme lebih menyasar pada lembaga-lembaga sosial, keagamaan, bahkan pemerintah yang memiliki posisi tawar tinggi.

Perubahan Pola Infiltrasi Terorisme

Terbukti, dalam beberapa tahun terakhir ini aparat kepolisian menangkap sejumlah anggota jaringan terorisme dari berbagai latar belakang profesi. Seperti guru, kepala sekolah, ketua yayasan, dosen, aktivis keagamaan, hingga yang menghebohkan publik, yakni anggota lembaga keagamaan prestisius.

Fenomena ini menandai adanya pola infiltrasi sistemik yang dilakukan jaringan terorisme. Mereka mulai menyasar pihak-pihak yang memiliki otoritas dan wewenang dalam mengambil keputusan atau kebijakan.

Tujuan dari infiltrasi sistemik ini sebenarnya ialah mempersiapkan proses pengambil-alihan kekuasaan secara halus (smooth). Sejarah mencatat bahwa gerakan revolusi dan penggulingan kekuasaan tidak selalu hanya bertumpu pada gerakan dan aksi di lapangan.

Keberhasilan revolusi biasanya didahului oleh pengambilalihan lembaga-lembaga strategis, baik di ranah sosial-keagamaan maupun pemerintahan. Jika lembaga-lembaga strategis itu berhasil dikuasai, maka jalan untuk merebut kekuasaan akan semakin terbuka lebar. Strategi itu pula yang tampaknya tengah dimainkan oleh Jamaah Islamiyyah (JI) sebagai salah satu elemen penyokong gerakan terorisme di Indonesia.

Terbongkarnya jaringan terorisme di tubuh MUI ini idealnya menjadi momentum bagi lembaga tersebut untuk melakukan pembenahan, pembersihan, dan sterilisasi dari paham radikal-terorisme. Oleh sejumlah pihak MUI selama ini kerap dipersepsikan sebagai lembaga penyokong konservatisme.

Fatwa-fatwa MUI selama ini kerap diasosiasikan sebagai dukungan terhadap konservatisme dan puritanisme Islam. Sebaliknya, MUI selalu mengambil posisi berlawanan arah dengan para penarik gerbong moderasi agama (Islam). Inilah momen yang ideal dan tepat bagi MUI untuk menjawab tudingan miring tersebut.

Sterilisasi Lembaga Agama dan Ulama dari Terorisme

MUI sebagai lembaga keagamaan dan keulamaan harus bersikap tegas pada anggotanya yang terbukti terlibat jariangan terorisme. Tidak hanya itu, MUI idealnya harus berkomitmen pada agenda moderasi agama dan menangkal setiap upaya menarik agama ke arah konservatisme, radikalisme dan ekstremisme.

Di lingkup internal, MUI harus melakukan screening alias penyaringan untuk memastikan para anggotanya steril dari paparan ideologi radikal dan gerakan terorisme.

Hal ini tentu tidak hanya berlaku bagi MUI, namun juga lembaga keagamaan dan keulamaan lainnya. Ini artinya, lembaga keagamaan dan keulamaan harus menjadi bagian dari gerakan civil society alias masyarakat sipil yang berkomitmen pada terciptanya kehidupan beragama yang moderat, inklusif dan setia pada NKRI serta Pancasila.

Menjadi ulama, pada dasarnya tidak hanya menjadi referensi bagi kehidupan beragama. Namun, juga menjadi teladan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Ulama sejati tidak hanya mumpuni dalam spiritualitas, namun juga mampu diandalkan dalam hal integritas dan komitmen penuh pada nasionalisme.

Kita tentu berharap ke depannya tidak ada lagi berita tentang oknum ulama yang terlibat jaringan terorisme. Di negara religius seperti Indonesia, ulama ialah tiang negara. Jika tiangnya goyah, maka seluruh negara akan merasakan dampak turbulensinya. Jangan sampai umat kehilangan sosok panutan, teladan, dan inspirasi dalam menjalani kehidupan beragama dan berbangsa.

Tidak ada cara lain dalam menghadapi infiltrasi sistemik terorisme, terutama ke lembaga keagamaan dan keulamaan, kecuali menjaga ulama dan mencerdaskan umat agar terhindar dari paparan virus radikalisme dan terorisme.

Advertisements