Isu terorisme masih terdengar kencang di tanah Indonesia. Terutama di daerah Poso dan Sigi di Sulawesi Tengah yang merupakan markas dari kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Kelompok ini telah menyatakan sumpah setia kepada ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) atau dipahami dengan Negara Islam Irak dan Suriah.
Seperti halnya isu terorisme, mendengar kata eks-napiter (mantan narapidana terorisme) juga membuat diri menjadi takut. Lantas, bagaimana jika harus hidup berdampingan dengan mereka? Jawabannya saya temukan pada sosok Ibu Novi Malinda Djamhuri.
Ibu Novi adalah pendamping keluarga eks-napiter dari Sekolah Perempuan Perdamaian Poso. Ia memfasilitasi para eks-napiter yang ditempatkan di Tamanjeka, Desa Masani, Kabupaten Poso. Sebanyak 39 orang eks-napiter tinggal bersama dengan masyarakat lainnya di sana.
Namun, para eks-napiter ini belum bisa berbaur dengan masyarakat. Mereka terlihat eksklusif dan menutup diri. Di sinilah peran Ibu Novi sebagai penghubung bertemunya para eks-napiter dengan masyarakat sekitar.
Sejak pertama kali bertemu dengan keluarga eks-napiter di Tamanjeka, Ibu Novi tergerak untuk terlibat dalam pendampingan reintegrasi para mantan napiter. Ia berpikir bahwa setiap manusia memiliki kesempatan kedua, dan para eks-napiter ini harus diperlakukan sebagaimana manusia, atas dasar kemanusiaan.
Berangkat dari pengalaman hidupnya sebagai orang tua tunggal, Ibu Novi menceritakan perjuangan hidupnya yang berhasil menyekolahkan 3 anak sampai lulus perguruan tinggi, bahkan dirinya sendiri pun berhasil mendapat gelar sarjana.
Pencapaian tersebut yang disampaikan Ibu Novi kepada para istri eks-napiter untuk memotivasi agar bisa berjuang untuk penghidupan yang lebih baik, meski tanpa hadirnya suami. Para istri eks-napiter memiliki karakter yang sangat ketergantungan dengan suami. Mereka didoktrin untuk selalu patuh perintah suami, sekalipun melakukan aksi kekerasan dan terorisme.
Lalu, ketika suami meninggal dalam aksi bom bunuh diri yang ia jalankan, para istri akan kebingungan untuk mencari penghidupan yang layak, dan bahayanya mereka bisa saja melanjutkan misi bom bunuh diri dengan membawa serta anak-anak.
Oleh sebab itu, pendampingan terhadap eks-napiter dan keluarganya amat tidak mudah, tetapi Ibu Novi menjalaninya dengan sangat baik bersama ibu-ibu sekolah perempuan lainnya. Ada 3 prinsip yang ia pegang sehingga dapat berhasil memenangkan hati para eks-napiter dan keluarganya.
Adalah tekad yang kuat, keberanian dan keikhlasan yang mendasari Ibu Novi menggagas ide-ide kreatif untuk memberdayakan para istri mantan napiter di Tamanjeka, yang akrab disapa dengan panggilan umi.
Dalam melaksanakan pendampingan, Ibu Novi berlandaskan nilai-nilai perdamaian yang ia pelajari di Sekolah Perempuan Poso AMAN Indonesia, diantaranya;
- Nilai kesetaraan gender melalui pendampingan keluarga, tidak hanya eks-napiter.
- Perlindungan anak dan pemenuhan hak anak melalui bermain dan belajar.
- Pemberdayaan perempuan melalui ekonomi perempuan
- Nilai keterbukaan & keberagaman melalui duduk dan berdialog bersama.
Langkah awal yang Ibu Novi lakukan ialah menyentuh hati para umi supaya memahami dengan benar pendampingan yang ia kerjakan. Para umi dilibatkan dalam setiap rapat kecil yang ia adakan bersama para mantan napiter.
Ibu Novi juga mengajak anak-anak mantan napiter membaca, belajar dan bermain, sehingga mereka bisa merasa lebih terbuka, bermain dan belajar dengan siapa saja. Jadi, pendampingan yang Ibu Novi berikan tidak hanya berfokus pada mantan napiter, tetapi juga istri dan anaknya.
Selain itu, Ibu Novi juga menerapkan pendekatan ekonomi dimana ia mendistribusikan bantuan dari pemerintah dan memberikan pelatihan pembuatan produk lokal. Tamanjeka merupakan daerah yang cukup subur dengan banyak sekali pohon cokelat, durian, tanaman merica dan jahe merah.
Dengan memanfaatkan kesuburan tanah di Tamanjeka, Ibu Novi dibantu oleh LPSM (Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil) membuat pendekatan yang disebut “mendekatkan pasar dengan dapur umi”. Para umi dilatih untuk bercocok tanam, sehingga ketahanan pangan rumah tangga mereka terjamin, dan ekonomi rumah tangga terbantu.
Tidak hanya pendekatan ekonomi, Ibu Novi juga membuat taman baca untuk anak-anak mantan napiter. Suatu hari, ia dan ibu-ibu sekolah perempuan lainnya mengadakan lomba menggambar. Ada salah satu anak laki-laki yang menggambar pistol, kemudian Ibu Novi langsung memberikan pemahaman bahwa pistol itu adalah senjata yang hanya digunakan oleh polisi atau tentara.
Tak hanya itu, anak perempuan juga cenderung menggambar perempuan berjilbab besar dan bercadar. Dari apa yang mereka gambar, pemahaman mereka terkait simbol-simbol jihad atau terorisme telah terbentuk sejak dini.
Maka dari itu, di samping tujuan taman baca ialah untuk meningkatkan literasi para anak mantan napiter, juga untuk mananamkan nilai-nilai Pancasila dan membentuk karakter anak-anak yang inklusif.
Secara sosial, untuk menyatukan keluarga eks-napiter dengan masyarakat lainnya ialah dengan dipertemukan dalam kegiatan Tapurung, sebuah tradisi lokal makan bersama yang melibatkann seluruh orang.
Berawal dari Tapurung, Ibu Novi berinisiatif untuk membuat produk makanan lokal berupa cemilan jahe merah yang dikelola bersama oleh para umi dan masyarakat lainnya. Dari kerjasama ini dan seringnya berinteraksi satu sama lain, tidak ada lagi sekat dan prasangka yang memisahkan antara para umi dan masyarakat setempat.
Ibu Novi percaya bahwa kunci dari masyarakat yang tangguh adalah kemauan untuk membuka diri dan menerima perbedaan yang ada. Ibu Novi juga terus menyemangati para umi untuk aktif bermasyarakat dan menjadi perempuan mandiri untuk meneruskan hidup yang lebih baik demi masa depan anak-anak mereka juga.
Dengan prinsip-prinsip yang Ibu Novi miliki, ia tidak gentar untuk mendampingi para mantan napiter dan keluarganya, juga memberdayakan sesama perempuan atas dasar kemanusiaan dan perdamaian.
Leave a Review