Ramadhan sudah berlalu. Hari raya Idulfitri 1 Syawal 1443 H bertepatan dengan Senin, 2 Mei 2022, sesuai keputusan sidang isbat Kementerian Agama RI. Menang Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, dari 99 titik pengamatan ada yang melaporkan melihat hilal yang sudah sesuai kriteria memasuki bulan baru. Dalam jumpa pers kemarin, Yaqut menerangkan, hilal atau Bulan sabit tertipis nampak pada ketinggian pada 4 derajat 0,59 menit. NU dan Muhammadiyah tahun ini berbarengan.
Namun, tahukah bahwa hari raya Idulfitri kali ini ada yang menggelarnya secara makar? Jemaah An-Nadzir di Kabupaten Gowa, Sulsel, telah menetapkan hari raya Idulfitri pada Minggu 1 Mei 2022. Penetapan tersebut berdasarkan hasil pemantauan fenomena alam dan diputuskan dalam rapat musyawarah. Pimpinan Jemaah An-Nadzir, Ustaz Samiruddin Pademmui mengatakan, Jemaah An-Nadzir mulai berpuasa pada Jumat 1 April lalu untuk menjemput Ramadan.
Siapakah Jemaah An-Nadzir dan mengapa mereka tidak mengikuti ketetapan pemerintah? Jawaban atas pertanyaan ini cenderung spekulatif, tetapi fakta menarik tentang Idulfitri akan membuat kita tercengang. Di Solo, Jaten g, 1 Mei kemarin, beberapa eks-napiter seperti Ibadurrahman, Giyanto, Sulthon Qolbi dan yang lainnya terpantau sudah tidak beritikaf. Mereka memantau pengumuman 1 Syawal dari ISIS Pusat.
Pada WhatsApp group Forum Kajian Tauhid, Sulthon Qolbi kemudian menginfokan bahwa hilal telah terlihat di Afghanistan, Mali dan Nigeria. Karenanya, hari raya Idulfitri jatuh pada Minggu 1 Mei, dam Sulthon juga menyeru agar jemaahnya membatalkan puasa sementara salat ied boleh ditunda keesokan harinya, 2 Mei. Pada hari yang sama, Minggu 01 Mei 2022, di Dompu, NTB, sekitar 50 orang eks-HTI melaksanakan salat Idulfitri di Masjid Al-Jihad.
Para dedengkot HTI tersebut antara lain, A. Rafik selaku imam, Muhammad Sholeh Kafahul Islam yang notabene pembina HTI Dompu selaku khatib, dan Wahyudin selaku penuntun salat ied. Hadir juga Buhari eks-bendahara HTI Dompu yang berposisi sebagai Ketua DKM Masjid Al-Jihad, dan A. Jumari selaku eks-Ketua DPD-II HTI Dompu. Salat ied 1 Mei para aktivis khilafah tersebut konon berpatokan pada Arab Saud, dan sama sekali tanpa koordinasi dengan perangkat desa setempat.
Maklumat Idulfitri juga dikeluarkan oleh kelompok Jama’ah Ansharud Daulah (JAD) Bima, NTB, dan Jama’ah Ansharus Syari’ah (JAS). Pada intinya, lebaran para aktivis khilafah dari berbagai kelompok tersebut dapat diklasifikasi menjadi dua. Pertama, diputuskan pada 1 Mei dengan ijtihad sendiri yang asal-asalan. Kedua, diputuskan 2 Mei tapi bukan karena ikut pemerintah. Mereka kukuh ingin menentang pemerintah dan mencari-cari pembenaran melalui klaim ijtihad.
Ijtihad yang Rawan Murtad
Apa yang sebenarnya para aktivis khilafah itu lakukan sebenarnya lumrah, jika dipandang sebagai ijtihad menentukan 1 Syawal dan pelaksanaan salat ied. Namun, jika ijtihad tersebut memiliki tujuan politis-ideologis, maka hukumnya jadi haram karena menyalahi koridor yang Nabi tetapkan ihwal Idulfitri itu sendiri. Nabi menganjurkan metode hitung (al-hisab) dan melihat langsung (al-ru’yah) hilal, juga menganjurkan ijmak sebagai jalan terbaik.
Nabi bersabda, “Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal (Ramadan) dan jangan iftar sebelum melihat hilal (Syawal),” juga “Janganlah sampai kalian mendahulukan Ramadan sehari atau lebih…,” serta “Siapa pun yang berpuasa di hari yang belum jelas (baik hilal yang belum terlihat maupun pemerintah belum memutuskan, pen.), maka ia telah membangkang kepada Muhammad Saw.” Banyak juga hadis lain tentang kehati-hatian memutuskan Ramadan dan Syawal.
Karena itu, di negara Indonesia yang memiliki tiga waktu: WIT, WITA, dan WIB, penentuan awal Ramadan dan awal Syawal ditempuh secara konsensus bernama Sidang Itsbat. Sidang penentuan tersebut dilakukan oleh Kementerian Agama, dengan menggabungkan dua metode yang Nabi Saw ajarkan, yakni hisab dan rukyah, di titik-titik tertentu yang mewakili seluruh wilayah NKRI. Nanti akan dibuat ijmak, konsensus, atas nama “Idulfitri di Indonesia”.
Semua itu untuk mengikuti perintah Nabi Saw. sekaligus mengatasi kerawanan dalam ijtihad. Sebab, jika keliru dengan sengaja, apalagi jika alasan ijtihadnya hanya untuk dikata tidak mengekor pemerintah, maka dengan jelas yang bersangkutan telah mengorbankan sunah Nabi dan menyalahi ajaran Islam. Dengan kata lain, yang bersangkutan telah murtad. Dalam konteks tiga macam murtad: perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan keyakinan (i’tiqad), itu masuk murtad af’al.
Murtad, keluar dari Islam, akibat ijtihad asal-asalan semacam itu tidak boleh dibiarkan. Kita, selaku umat Islam, harus hati-hati dalam hal Ramadan dan Idulfitri. Pemerintah melalui Kemenag sudah menentukan konsensus melalui ijtihad yang akurat, tetapi mengapa para aktivis khilafah enggan mengikuti dengan dalih ijtihad sendiri yang mengikuti Afghanistan, misalnya, yang letak geografisnya jelas-jelas berbeda dengan Indonesia? Nafsu bughat membuat mereka rela terjerumus kemurtadan. Ironis.
Hati-hati dengan Aktivis Khilafah!
Jika alasannya gengsi, maka para aktivis khilafah sama dengan mengorbankan ijmak demi kepentingan politis. Tetapi jika alasan mereka punya ijtihad sendiri yang diyakini lebih akurat dan otoritatif, lalu ternyata salah, yang padahal ijtihad tersebut sama sekali tidak akurat dan dipengaruhi oleh ideologi tertentu, maka tidak ada keraguan atas kemurtadan tadi. Karenanya, hati-hati merupakan keputusan yang niscaya. Nafsu khilafahisme harus disingkirkan.
Kita juga mesti waspada dengan ajakan para aktivis khilafah. Idulfitri tahun ini harus jadi pelajaran bahwa provokasi aktivis khilafah masih berlangsung bahkan di hari raya Islam. Lebih dari itu, mereka yang memulai Ramadan sebelum melihat hilal dan melakukan salat ied sebelum melihat hilal Syawal, dengan niat ingin membelot pemerintah dan seperangkap ijtihad dan konsensusnya, maka mereka jelas ijtihad para aktivis khilafah tersebut terhitung batil dan menyalahi Nabi. Dengan bahasa yang sederhana, para aktivis khilafah telah murtad massal di hari raya Idulfitri.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Leave a Review