Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Mudarat Reuni PA 212: Antara Pandemi dan Mobokrasi

Mudarat Reuni PA 212: Antara Pandemi dan Mobokrasi

Persaudaraan Alumni 212 berencana menggelar acara reuni akbar pada tanggal 2 Desember mendatang. Tempat masih menunggu izin, tapi mungkin di Monumen Nasional (Monas), seperti reuni sebelumnya. Rencana ini sontak membuat publik geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, pandemi belum juga usai. Bahkan sebagian besar wilayah di Indonesia masih menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

Kasus penularan Covid-19 di Indonesia memang mengalami penurunan drastis. Dan itu merupakan hal yang patut disyukuri. Kita tentu ingat bagaimana negeri ini nyaris kolaps dihajar gelombang kedua penularan Covid-19 beberapa waktu lalu. Kerja keras pemerintah dan masyarakat tentu patut diapresiasi dalam hal ini.

Namun demikian, pandemi belum bisa dikatakan usai. Bahkan kini kita dihadapkan lagi pada ancaman gelombang ketiga penularan Covid-19. Libur Natal dan Tahun Baru potensi melahirkan kluster-kluster baru penularan Covid-19. Apalagi disinyalir sekitar 13 juta warga berencana mudik. Belum lagi ancaman varian baru Korona asal Inggris yang bahkan sudah masuk ke Singapura dan Malaysia.

Melihat kondisi itu, mengadakan acara kumpul-kumpul massa untuk kegiatan yang kurang atau tidak esensial sama sekali ialah tindakan sembrono untuk juga mengatakan bodoh. Seperti kita tahu, di mana ada acara dengan konsentrasi massa besar, maka potensi penularan Covid-19 tidak dapat dielakkan. Dalam konteks inilah, rencana Reuni PA 212 di Monas pada awal Desember mendatang tampak lebih banyak membawa mudarat ketimbang manfaat.

Melanggar Prinsip Syariah

Jika ditinjau dari sisi teologis, Reuni PA 212 ini justru tampak tidak mengindahkan tujuan pokok syariah (maqasyid al syariah). Dalam teori maqasyid al syariah, tujuan pokok hukum Islam itu mencakup setidaknya lima hal. Yakni menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Mengumpulkan massa dalam jumlah besar tanpa protokol kesehatan yang ketat di masa pandemi merupakan pelanggaran terhadap prinsip hifdz an-nafs (menjaga nyawa atau keselamatan manusia).

Hal ini tentu ironis dan absurd. Tersebab, gerakan 212 yang berjilid-jilid itu selalu mengusung isu-isu penegakan syariah Islam. Bagaimana bisa gerakan yang mengusung formalisasi syariah justru abai pada tujuan pokok syariah (maqasyid al-syariah) itu sendiri?

Ini menandai bahwa isu penegakan syariah yang diusung oleh gerakan 212 tidak lebih dari sebuah komoditas dan lip service belaka. Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa gerakan 212 dan turunan-turunanya, termasuk PA 212 tidak lain merupakan gerakan politik yang dibangun di atas premis-premis keagamaan.

Sebagai sebuah gerakan politik, PA 212 dapat dikategorikan sebagai fenomena mobokrasi. Dalam leksikon ilmu politik, mobokrasi diartikan sebagai praktik pengerahan massa dalam jumlah besar untuk menekan pemerintahan yang sah. Tujuannya bisa bermacam-macam. Mulai dari memengaruhi pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang sesuai kepentingan golongan tertentu. Sampai mendelegitimasi otoritas dan wibawa pemerintahan yang sah.

Gejala mobokrasi ini sejak awal sudah tampak dalam aksi demonstrasi berjilid-jilid yang dilakukan oleh kelompok yang menamai dirinya gerakan 212. Meski mereka mengklaim gerakannya murni mengusung isu bela agama dan bela ulama, namun sulit menutup kesan bahwa gerakan itu bermotif politik. Apalagi kemunculan gerakan 212 tidak bisa dilepaskan dari konteks panasnya kontestasi Pilkada DKI 2017 yang diwarnai isu penistaan agama oleh salah satu kandidatnya.

Mobokrasi ialah salah satu musuh bagi demokrasi. Demokrasi memang membuka seluas-luasnya ruang publik untuk berekspresi dan berpendapat. Namun, demokrasi tidak menoleransi praktik-praktik intimidasi yang dilakukan dengan pengerahan massa, apalagi disertai pelanggaran hukum.

Mobokrasi ialah parasit demokrasi yang justru akan membunuh kebebasan berekspresi dan berpendapat secara perlahan-lahan. Inilah mudarat kedua jika Reuni PA 212 itu benar-benar dilaksanakan.

Butuh Wacana Konstruktif

Di masa sekarang, ketika kita mulai bangkit dua tahun dihantam badai pandemi, yang kita butuhkan ialah wacana-wacana yang konstruktif. Ide dan opini yang membangun dan mendorong terciptanya akselerasi, baik di bidang ekonomi maupun sosial. Dua isu penting yang idealnya kita jadikan fokus saat ini ialah pendidikan dan ekonomi.

Di ranah pendidikan, kita perlu memikirkan strategi untuk mengatasi learning lost akibat tidak maksimalnya pembelajaran jarak jauh di masa pandemi. fenomena learning lost tidak bisa dipandang sepele karena akan berdampak serius di masa depan. Apalagi di tahun 2030 Indonesia akan menikmati puncak bonus demografi. Jika problem learning lost ini tidak segera diatasi, maka problem yang lebih besar akan datang di masa depan.

Di sektor ekonomi, kita memerlukan strategi pemulihan yang efektif dan efisien untuk mencegah angka kemiskinan dan pengangguran akibat pandemi kian parah. Dan, seperti kita tahu kunci pemulihan ekonomi ialah menekan angka penularan Covid-19 ke titik paling minimal.

Tersebab, jika kasus Covid-19 melonjak, mau tidak mau kita harus mengetatkan kembali pembatasan sosial. Itu artinya, kegiatan ekonomi masyarakat akan terganggu dan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional.

Adagium klasik mengatakan bahwa setiap perbuatan hendaknya ditimbang baik-buruknya, pantas-tidak pantasnya, serta manfaat dan mudaratnya. Jika lebih banyak mudaratnya, maka sebuah perbuatan hendaknya tidak dilakukan. Adagium itu idealnya direnungkan oleh para pentolan PA 212 sebelum merealisasikan rencananya menggelar reuni yang sudah seminggu lagi.

Advertisements