Kita bahas lagi soal kerancuan beberapa ajaran Hizbut Tahrir (HT). Tapi, sebelum melangkah lebih jauh saya ingin bercerita terkait kronologis tulisan ini dihidangkan di hadapan pembaca. Ceritanya begini, teman saya berinisial R tetiba dichat seorang perempuan berinisial K.
Harapan R, pesan yang masuk lewat WhatsApp adalah pesan yang menggembirakan. Katakanlah, curahan kasih sayang terhadap teman saya yang masih “jomblo”. Sayangnya, pesan yang diterima mengajak teman saya masuk dalam ideologi HT.
Membaca pesan si perempuan itu, teman saya menolaknya dengan sikap santai. Sedikitpun teman saya membantah balik doktrin HT yang menyesatkan. Teman saya berani melakukan itu ditambah tahu mana yang benar dan mana yang sesat, karena dia pernah menjadi korban paham radikal kelompok sealiran HT, yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Tidak tanggung-tanggung, teman saya bersama keluarganya nekat pergi meninggalkan Indonesia dan memilih bergabung dengan ISIS. Meski, sesampainya di Suriah, wilayah ISIS berkuasa dia sekeluarga merasakan penyesalan yang mendalam, karena ISIS yang dibayangkan sebagai kelompok yang ramah dan baik ternyata kasar dan eksklusif.
Doktrin HT yang disampaikan si perempuan berinisial K itu meliputi: Pertama, hak veto Tuhan yang tidak dapat diganggu gugat. Maksudnya, segala bentuk keputusan hukum berasal dari ketentuan Tuhan, bukan dari manusia. HT memperkuat doktrin yang pertama ini dengan “potongan” ayat dalam Al-Qur’an:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
Artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS. Al-An’am: 57).
Ayat ini ditafsirkan oleh orang HT sesuai dengan kepentingannya, tanpa menukil beberapa ijtihad para mufasir. Bahkan, lucunya ayat ini dipahami secara “sepotong-sepotong” (parsial) sehingga di situ tidak ada pemahaman yang utuh dan pasti akan terjadi pemahaman yang keliru bin menyesatkan. Perhatikan ayat lengkapnya berikut:
قُلْ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِ ۚ مَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
Artinya: Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al-Qur’an) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.
Maksud dari “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” berkaitan dengan ketegasan Nabi dalam menolak permintaan orang kafir untuk menyegerakan azab Tuhan. Bahwasanya, azab itu ada pada kendali (hak) Allah Yang Maha Kuasa, bukan pada hak Nabi sebagai manusia. Beginilah kurang lebih pemahamannya.
Maka, menjadikan ayat tersebut sebagai dasar untuk membenarkan segala keputusan hukum, lebih-lebih hukum negara harus sesuai seratus persen dengan hukum Allah, bahkan menolak hukum yang dilahirkan dari ijtihad manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan. Karena, Allah tidak pernah membatasi ijtihad hamba-Nya dalam menetapkan hukum selagi hukum tersebut tidak membawa kepada kemafsadatan. Hukum yang menghadirkan kemaslahatan tentu dapat diterima.
Sampai di sini, kelihatan kerancuan ajaran HT dalam memahami hak veto Tuhan. Kerancuan ini terlihat dari HT yang tidak mengerti teori Munasabah, yaitu keterkaitan ayat yang satu dengan ayat yang lain, bahkan keterkaitan kata dengan kata yang lain.
Ayat Al-Qur’an itu dibangun secara utuh (komprehensif), bukan secara sepotong-sepotong (parsial). Memahami ayat secara parsial pasti akan menghasilkan pemahaman yang keliru. Pemahaman yang keliru kemudian disampaikan kepada orang awam pasti akan menyesatkan mereka. Maka, berhati-hatilah!
Kedua, pemahaman tentang khilafah. Ini ajaran paripurna dalam HT. Segala tema dakwah yang HT sampaikan ujung-ujungnya dihubungkan ke khilafah. Bagi orang HT, khilafah adalah tameng umat Islam. Mereka berkata: “Tidak ada yang bisa menjaga dan melindungi umat Islam kecuali Khilafah”. Kalimat ini tidak memiliki dasar yang kuat dari dua rujukan terpercaya: Al-Qur’an dan hadis.
Meskipun ada, ayat yang dijadikan dasar itu bukan bermaksud demikian. Itu hanyalah cocokologi saja. Tidak lebih dari itu. Lebih-lebihnya, dasar khilafah ini disandarkan kepada sahabat Nabi Hanzhalah bin Shifi al-Katib yang menyebutkan tentang pentingnya khilafah dalam kehidupan umat Islam. Padahal, khilafah yang dimaksud Hanzhalah tidak seperti yang dimaksud HT.
Sebagai penutup, berhati-hatilah dengan ajaran HT. Karena, ajaran HT tidak dapat diterima sebagai ajaran Islam yang terbuka dan penuh rahmat. Jika ajaran HT benar, tentu tidak bakal dibubarkan di Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas beragama Islam.[] Shallallah ala Muhammad.
Leave a Review