Flash Sale! to get a free eCookbook with our top 25 recipes.

Indonesia ‘Ala Minhajin Nubuwah’

Indonesia ‘Ala Minhajin Nubuwah

DI antara metode-metode Nabi Muhammad saw dalam mendirikan Daulah Nabawiyah, satu metode mendasar yang diikuti oleh para bapak bangsa kita ketika mendirikan negara Indonesia, yang saya kemukakan pada tulisan ini, yaitu negara berdiri atas dasar persatuan dan kesatuan. Bukan hasil dari sebuah gerakan separatisme.

Indonesia sebuah negara muslim terbesar di dunia lahir dari sebuah semangat persatuan dan kesatuan umat. Para pendiri bangsa berhasil menyatukan seratus lebih kesultanan, ratusan suku dan bahasa, serta beberapa agama dan kepercayaan. Integrasi kesultanan, suku dan agama di Nusantara menjadi satu negara Indonesia dilakukan dengan penuh kesadaran secara alami dan damai tanpa paksaan dari siapapun. Bukan karena aneksasi dan invansi dari Jawa. Integrasi terjadi bukan di bawah todongan senjata.

Hal ini mengingatkan kita perihal keberhasilan Rasulullah saw menyatukan suku ‘Aus dan Khazraj dengan Quraisy yang beragama Islam, beserta suku-suku lain yang ada di sekitar Yatsrib. Rasulullah saw juga berhasil menyatukan empat suku Yahudi dan kaum musyrikin dalam satu negara yang diikat dengan Piagam Madinah. Diikuti oleh para pendiri bangsa kita mengikat persatuan dan kesatuan umat dengan Pancasila.

Daulah Nabawiyah mengakui eksistensi, identitas, tradisi dan adat dari suku-suku dan agama-agama serta kearifan lokal yang ada sebelumnya. Pemimpin-pemimpin suku dan agama tetap jadi pemimpin. Mereka tidak di-reshuffle. Semua orang yang tinggal di wilayah Madinah, semua berkedudukan sama sebagai warga negara Daulah Nabawiyah. Tidak ada diskiriminasi. Hak dan kewajiban mereka sama, tanpa memandang suku dan agama.

Hal yang bertolak belakang dengan proses pembentukan negara-negara Arab, yang mana negara-negara tersebut merupakan hasil dari gerakan separatisme yang didukung oleh negara-negara Eropa untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyah. Nasionalisme yang dihembuskan oleh Inggris, Perancis, Rusia, Italia dan Jerman di wilayah Khilafah Utsmaniyah telah mencabik-cabik Khilafah Utsmaniyah sampai tidak bersisa sedikit pun, hatta di Istambul sekalipun yang merupakan ibukota Khilafah Ustmaniyah. Khilafah Utsmaniyah lenyap dari peta dunia 21 tahun sebelum negara Indonesia lahir.

Tentu saja, derajat Nabi Muhammad saw jauh di atas para pendiri bangsa kita. Tidak mungkin dan tidak pantas dibandingkan. Namun, yang menjadi perhatian kita adalah, apa yang dilakukan oleh pendiri bangsa ternyata sesuai dengan metode Nabi saw ketika mendirikan Daulah Nabawiyah di Madinah, yaitu mendirikan negara dengan cara menyatukan suku-suku dan agama-agama lalu mengikatnya dengan sebuah piagam yang diterima oleh semua pihak.

Kesesuaian metode pembentukan negara Indonesia dengan Daulah Nabawiyah merupakan rahmat dari Allah swt berkat keinginan yang luhur dari umat untuk merdeka dari penjajahan negara asing. Kesadaran ruhiyah ini tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga yang berbunyi “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Sangat disayangkan, para pejuang khilafah tahririyah menutup mata, telinga dan hati atas kenyataan ini. Disebabkan oleh fanatisme kelompok yang sudah mendarah daging. Mereka sebenarnya sudah mengetahui nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Arab. Nasionalisme Indonesia berhasil menyatukan ratusan kesultanan di Nusantara ke dalam satu negara, sedangkan nasionalisme Arab telah memecah belah wilayah Khilafah Utsmaniyah menjadi puluhan negara-negara Arab yang kecil-kecil.

Trauma terhadap kejatuhan Khilafah Utsmaniyah akibat nasionalisme Arab, membuat para pejuang khilafah tahririyah alergi dengan kata nasionalisme. Mereka sebenarnya bukan warga negara Khilafah Utsmaniyah. Mereka juga bukan sedang ingin mendirikan kembali Khilafah Utsmaniyah, karena yang mereka mau adalah khilafah tahririyah.

Mereka menghempuskan isu “nasionalisme pemecah belah umat” untuk mendelegitimasi negara Indonesia. Mereka ingin melemahkan ikatan persatuan dan kesatuan umat di Indonensia, Maklum mereka bukan WNI (warga negara Indonesia). Mereka adalah WNK (warga negara khilafah) tidak berkewajiban, bahkan merasa berdosa dan haram hukumnya mempertahankan eksistensi negara Indonesia.

Isu “nasionalisme pemecah belah umat” di Indonesia sejatinya salah alamat. Isu tersebut seharusnya diopinikan di negara-negara Arab. Meskipun demikian, tujuan akhir dari hembusan isu tersebut adalah ingin melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang berujung pada kehancurkan negara Indonesia. Tujuan yang sama ketika negara-negara Eropa menghembuskan isu nasionalisme di wilayah Khilafah Utsmaniyah.

Advertisements