Cinta Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw) bagi umat Islam di zaman kini, terimplementasi kecintaan pada kalangan habaib. Mereka adalah ahli baiti (keluarga) Rasulullah Saw, yang dihormati karena ilmu dan akhlaknya seralaras dengan akhlak Kanjeng Rasul.
Ada pesan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (Saw), riwayat Imam Abu Dawud, menari disimak:
فِتْنَةُ السَّرَّاءِ دَخَنُهَا مِنْ تَحْتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي، يَزْعُمُ أَنَّهُ مِنِّي وَلَيْسَ مِنِّي، وَإِنَّمَا أَوْلِيَائِي الْمُتَّقُونَ
[Abdullah bin Umar duduk-duduk bersama Rasulullah Saw, dan beliau mengisahkan berbagai macam fitnah, di antaranya] Fitnah Sara.
(Kata Rasulullah Saw) Fitnah Sara kemunculannya dari telapak kaki seorang pria dari keturunanku [ahli bait: habib -syarif] (bukan perempuan).
Dia menganggap dirinya keturunanku padahal bukan. Sebab para kekasihku adalah orang-orang yang bertakwa.
Yang menarik dalam komentarnya (Syarah):
Orang ini memunculkan fitnah (kekacauan) mengaku keturunan Nabi Saw padahal secara perilaku bertentangan dengan ajaran Nabi, walaupun ia keturunan Nabi tapi nabi Saw tidak akan mengakuinya.
Karena لو كان من أهلي لم يهيج الفتنة seandainya betul dia mengaku keluargaku ia tidak akan membuat keresehan.
Senada dengan firman Allah:
إنه ليس من أهلك إنه عمل غير صالح
(Nuh) dia bukan keluargamu (bukan putramu) karena ia bukan orang Saleh.
Kesimpulan menarik dari Al Irbili, bahwa Nabi Saw sangat memperhitungkan orang Soleh dan bertakwa meskipun tidak punya jalinan keluarga dengan Nabi. Dan tidak ada arti apa-apa dihadapan Rasulullah Saw meskipun dia keturunan Nabi apabila fasiq dan suka membuat onar (fitnah).
قال الأردبيلي . فيه إعجاز وعلم للنبوة وفيه أن الاعتبار كل الاعتبار للمتقي وإن بعد عن الرسول في النسب ، وأن لا اعتبار للفاسق والفتان عند رسول الله صلى الله عليه وسلم وإن قرب منه في النسب انتهى .
Subtansi historis yang saya maksud adalah keluarga para Nabi adalah mereka yang bertaqwa dan Solih, yang membawa jalan kedamaian dan kemaslahatan, putra Nabi Nuh seorang perusuh (عمل غير صالح) Allah nyatakan bukan keluarganya.
Sebagai ternyata kita orang biasa bisa dicintai Rasulullah dan menjadi prioritas Rasulullah Saw meskipun bukan darah dagingnya.
Ulasan Lengkap
Ustadz M Khoirul Wafa, dilansir aswajamuda.com, menulis “Tetap Menghormati dan Memuliakan Habaib Meskipun Berbeda Prinsip” berikut:
Al-Habib Ubaidillah bin Idrus al-Habsy, mufti Tarim yang merupakan guru beliau, habib Ali al-Masyhur pernah berpesan, “Hormati dan cintai keturunan Rasulullah shallahu’alaihiwasallam bukan karena kealimannya, bukan karena perilakunya, tapi karena darah Rasulullah Shallahu’alaihiwasallam yang mengalir dalam diri mereka.”
Nasihat ini penting, sebab termasuk attitude dan cara beretika yang baik kepada Rasulullah shallahu’alaihiwasallam juga adalah dengan menghormati keturunan beliau. Bagaimanapun juga. Siapapun juga. Asalkan itu masih keturunan nabi, harus kita hormati dan muliakan.
Memuliakan habaib bukan karena ilmunya, sebab dengan mencintai habaib karena wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya, mungkin akhirnya membuat seseorang tidak mau mencintai habaib yang kurang nampak kealimannya.
Mencintai habaib bukan karena perilakunya, sebab dengan hanya melihat perbuatan baiknya saja, akhirnya mungkin membuat orang akan memandang sebelah mata terhadap habaib yang nampak kurang baik pekertinya.
Oleh sebab itu, mencintai dan memuliakan habaib memang seharusnya muncul dari kesadaran sepenuhnya, karena adanya kedekatan nasab dengan Rasulullah shallahu’alaihiwasallam, serta kenyataan jika dalam diri habaib memang telah mengalir darah nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam. Jika kita bisa melakukan hal itu, niscaya tak ada satupun habaib yang akan dibenci, bagaimanapun juga keadaannya.
Tapi ada juga penjelasan dari KHR. Ach. Azaim Ibrahimy tentang bagaimana bersikap terhadap keturunan nabi. Menurut beliau, habaib itu tidaklah ma’shum (selalu terhindar dari perbuatan dosa) seperti nabi Muhammad shallahu’alaihiwasallam. Artinya dalam kehidupan sehari-hari, tidak menutup kemungkinan ada habaib yang juga pernah melakukan kesalahan.
Maka kita perlu mengikuti tindakan dan ucapan habaib yang benar. Tapi bila ternyata mungkin ternyata ada habaib yang jelas-jelas melakukan suatu tindakan yang salah, tidak harus diikuti. Tapi menghormati itu tetap harus dilakukan. Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad juga menjelaskan,
وأما من كان من أهل هذا البيت ليس على مثل طرائق أسلافهم الطاهرين، وقد دخل عليهم شيء من التخليط الغلبة الجهل، فينبغي أيضا أن يعظموا ويحترموا لقرابتهم من رسول الله. ولا يدع المتأهل للنصيحة نصحهم وحثهم على الأخذ بما كان عليه سلفهم الصالح، من العلم، والعمل الصالح، والأخلاق الحسنة ، والسير المرضية، ويخبرهم أنهم أولى بذلك وأحق به من سائر الناس، وأن مجرد النسب لا ينفع ولا يرفع مع إضاعة التقوی، والإقبال على الدنيا، وترك السطاعات والتدنس بدنس المخالفات.
“Dan siapapun ahlul bait nabi namun ternyata pekertinya tidak selaras dengan leluhur mereka yang suci, berarti telah tercampur dalam diri mereka ketidaktahuan. Maka seyogyanya mereka tetap harus dihormati dan dimuliakan karena adanya kedekatan nasab dengan rasulullah. Dan bagi orang yang memiliki kemampuan menasihati, agar menasihati mereka dan mendorong mereka agar senantiasa berpegang teguh di jalan leluhur mereka yang salih, dengan ilmu, perbuatan baik, akhlak yang terpuji, dan tindakan yang diridhoi.” (Al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, al-Fushul al-Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, [Darul Hawi, cetakan kedua, 1998 M/1418 H.], hal 90.)
Kita perlu membedakan, antara kewajiban menghormati, mengikuti, dan mentaati. Menghormati habaib itu suatu keharusan, bagaimanapun juga. Tapi bukan berarti setiap habaib juga harus diikuti perbuatan dan tindakannya. Jika memang jelas itu salah.
Seperti halnya menghormati orang tua adalah kewajiban. Bagaimanapun juga orang tua harus dimuliakan. Tapi bukan berarti setiap perintah orang tua juga harus diikuti dan dijalankan, jika jelas-jelas itu perintah yang menjerumus dalam perbuatan dosa.
Prakteknya dalam kehidupan sehari-hari, andaikan kita bertemu dengan seorang habaib yang kontroversial, maka kita tetap memuliakan beliau. Mempersilahkan beliau berkunjung dan singgah ke rumah kita, mencium tangan beliau, dan menjamu dengan jamuan makanan sebaik-baiknya yang bisa kita hidangkan.
Tapi bukan berarti kita juga harus mengikuti hal kontroversial yang dilakukan oleh beliau. Dengan menjadi fanatik buta. Sebab kita perlu memilah dan memilih, mana yang benar dan mana yang salah. Yang benar perlu diikuti, dan yang keliru tidak perlu diteladani. Tapi kemudian hal semacam itu tidak lantas menghilangkan kewajiban kita untuk memuliakan beliau.
Beda pendapat, beda prinsip itu sah-sah saja. Wajar saja ada perbedaan. Tapi bukan lantas perbedaan itu mendatangkan kebencian dan ketidaksukaan, yang berujung pada cacian dan makian. Perbedaan pendapat dan prinsip biarlah menjadi perbedaan, tapi menghormati dan memuliakan habaib itu sampai kapanpun juga, dalam kondisi bagaimanapun juga tetap harus kita lakukan.
Sebab keturunan Rasulullah shallahu’alaihiwasallam diibaratkan seperti air, dimanapun beliau-beliau berada, maka akan senantiasa memberikan keberkahan dan manfaat.
Imam Syafi’i dikatakan pernah menggubah sebuah syair.
ﻭﻟﻤﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗﺪ ﺫﻫﺒﺖ ﺑﻬﻢ # ﻣﺬﺍﻫﺒﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﺑﺤﺮ ﺍﻟﻐﻲ ﻭﺍﻟﺠﻬﻞ
ﺭﻛﺒﺖ ﻋﻠﻰ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺳﻔﻦ ﺍﻟﻨﺠﺎ # ﻭﻫﻢ ﺍﻫﻞ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻤﺼﻄﻔﻰ ﺧﺎﺗﻢ ﺍﻟﺮﺳﻞ
“Ketika aku melihat pemikiran manusia telah bermuara di samudera kesesatan dan kebodohan, aku menaiki perahu keselamatan atas nama Allah. Perahu Keselamatan itu adalah (mencintai dan mengikuti) keluarga nabi shallahu’alaihiwasallam sang penutup para rasul”.
Wallahu a’lam.
*) Dipetik dari aswajamuda.com
Leave a Review