Ustazah Halimah Alaydrus adalah seorang da’i atau pendakwah perempuan yang cukup poluler saat ini. Dari nama marganya saja, masyarakat sudah dapat menebak bahwa beliau adalah sosok seorang syarifah (keturunan Rasuluallah dari kalangan perempuan).
Ayahnya adalah seorang Habib dari marga Alaydrus. Sedangkan ibunya juga seorang syarifah dari marga Assegaf. Kemudian beliau juga menikah dengan laki-laki dari marga al-Haddar.
Selain status syarifah yang melekat pada namanya, belau juga merupakan sosok ulama perempuan yang sudah banyak menuntut ilmu di berbagai tempat. Beliau mengenyam pendidikan pesantren di beberapa pondok pesantren, diantaranya adalah Darullughah Wadda’wah di Bangil, Pasuruan Jawa Timur, kemudian At-Tauhidiyah Tegal dan Al-Anwar Rembang Jawa Tengah.
Beliau juga sempat menempuh pendidikan di luar negeri, tepatnya di Daruz Zahro Tarim, Hadhramaut Yaman. Dari riwayat dan pendidikan dan nasabnya saja, kita bisa tau bahwa Ustazah Halimah Alaydrus bukanlah sosok da’i yang “kaleng-kaleng”.
Selain sebagai pendakwah, beliau juga dikenal sebagai penulis aktif yang telah menerbitkan banyak buku. Di antara bukunya yang cukup populer adalah “Bidadari Bumi: Kisah 9 Wanita Salehah”. Keberadaan Ustazah Halimah Alaydrus merupakan salah satu dari sekian banyak perempuan yang mampu membuktikan produktivitasnya di ranah publik.
Strategi Dakwah Inovatif
Salah satu hal menarik dari sosok Ustazah Halimah Alaydrus adalah caranya dalam berdakwah. Beliau dikenal sebagai da’i perempuan yang “misterius”. Disebut misterius karena tidak banyak orang yang tau bagaimana penampakan fisik aslinya. Dalam ceramahnya yang tersebar luas di internet, hampir semuanya berbentuk rekaman audio tanpa menyertakan visualisasi sang dai.
Hal tersebut terjadi karena beliau tidak berkenan jika visualisasi dirinya ditampilkan dalam setiap ceramahnya. Dalam berbagai kesempatan beliau melarang keras jamaahnya untuk mengambil gambar atau merekam video selama pengajian.
Para jemaah bahkan panitia hanya diperkenankan untuk mendokumentasikan rekaman audionya saja. Hal ini selalu beliau sampaikan hampir disetiap ceramahnya. Wal hasil hampir tidak ditemukan visualisasi sosok Halimah Alaydrus di internet.
Beliau adalah sosok perempuan yang memilih untuk mengenakan niqab di ruang publik. Namun meski demikian beliau besedia menampakan wajahnya dihadapan jamaah pengajian khusus perempuan, tentu dengan ketentuan yang telah disebutkan diatas.
Dalam salah satu ceramahnya beliau pernah mengatakan bahwa dirinya lebih suka diporet dan diabadikan dalam hati jemaahnya, alih-alih hanya melalui lensa kamera atau handphone yang bisa hilang. Beliau juga mengungkapkan ingin menjaga visualisasi dirinya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.
Meski tanpa adanya visualisasi, rekaman-rekaman ceramah beliau banyak ditemukan di internet khususnya di media sosial. Beliau adalah sosok dai perempuan yang dakwahnya dikenal sangat menyentuh hati.
Dalam ceramahnya beliau selalu memberikan penjelasan dan perumpamaan yang mampu memancing empati dan spiritualitas audienya. Dalam berbagai kesempatan beliau juga selalu meninggalkan nasehat-nasehat kebaikan bagi para jemaahnya.
Di media sosial konten-konten berisi rekaman suara Ustazah Halimah Alaydrus cukup banyak diminati, terbukti dengan banyaknya jumlah viewers, like dan komentar yang ditinggalkan para netizen.
Kata-kata beliau yang menyentuh hati, kefashian bicara, intonasi yang tepat, ditambah tak adanya visualisasi wajah atau tubuh yang ditampakan, membuat pesan dakwah yang disampaikan terasa lebih khidmad dan fokus.
Suasana seperti ini jarang saya temukan di beberapa konten dai wanita lain yang dengan jelas menampakan visualnya. Karena sebagaian netizen cenderung berkomentar terhadap hal-hal di luar isi ceramah, khususnya terkait penampilan sang dai.
Misalnya ada yang memuji kecantikan parasnya, berkomentar model hijabnya, bahkan ada yang memanfaatkan kolom komentar sebagai tempat membagikan link toko online (misal toko gamis yang dikenakan penceramah).
Oleh karena itu, dari segi evektivitas penyampaian pesan dakwah, strategi yang digunakan oleh Ustazah Halimah Alaydrus cukup mengispirasi dan dapat dijadiakan alternatif. Khususnya bagi para pendakwah yang ingin menyampaikan pesan dakwahnya secara online, dan tidak terbatas bagi dai perempuan.
Komodifikasi Tubuh Perempuan
Komodifikasi tubuh permpuan buakanlah sesuatu yang baru. Ia adalah fenomena umum yang lazim ditemui, namun sering tidak disadari. Mendengar istialah tersebut, sebagian orang mungkin langsung mengaitkanya dengan tindak prostitusi. Namun sebenarnya, bentuk komodifikasi tidak selalu mengarah pada hal-hal negatif menurut masyarakat, namun bisa mengarah pada hal-hal positif yang dianggap lazim.
Misalnya iklan-iklan produk atau jasa yang lebih banyak menampilkan visualisasi sosok perempuan. Hal itu terjadi karena adanya anggapan bahwa sosok dan tubuh perempuan akan menarik lebih banyak perhatian penonton, khususnya bagi para perempuan yang dikategorikan “good looking”. Yaah… meskipun kategori tersebut berdasarkan standar kecantikan pasar Indonesia (wajah glowing, kulit putih, tubuh proposional).
Menurut saya, menjadikan perempuan sebagai sarana advertisement untuk meningkatkan nilai jual produk buakanlah sesuatu hal yang salah, selagi dilakukan atas izin yang bersangkutan. Dalam prakteknya kita biasa melihat para influencer yang menerima endors produk tertentu, tak terkecuali bagi mereka yang juga bergerak dalam dakwah keagamaan.
Beberapa brand fashion misalnya, mempromosikan produk mereka dengan menyelipkan pesan dakwah melalui beberpa da’i atau influencer terkenal. Hal ini sah-sah saja, selagi memang ada kerjasama dari kedua pihak yang saling menguntungkan.
Yang menjadi masalah adalah ketika hal tersebut dilakukan dengan mengabaikan otoritas si pemilik visual; tubuh. Di era digital saat ini, setiap orang dapat dengan mudah mengunduh, menyimpan bahkan mengedit visualisasi seseorang hanya berbekal gambar atau video di internet.
Kemudahan ini tentu berpotensi menyebabkan penyalahgunaan visual seseorang untuk tujuan tertentu, mulai dari kepentingan komodifikasi sampai dengan tindak kriminal.
Dalam hal ini, perempuan menjadi pihak yang lebih rentan mengalami penyalahgunaan visualisasi. Massifnya komodifikasi tubuh perempuan, membuat perempuan berisiko tinggi menjadi korban.
Khususnya praktek komodifikasi yang mengarah pada hal-hal negatif. Contoh nyatanya, beberapa saat yang lalu saya mendengar berita bahwa, ada seorang artis perempuan yang wajahnya dijadiakn foto profil akun prostitusi.
Oleh karena itu, menjaga privasi visual seperti yang dilakukan Ustazah Halimah Alaydrus dapat menjadi langkah preventif terhadap penyalahgunaan visualisasi tubuh perempuan di era digital. Sekaligus inspirasi bagi para da’i perempuan yang ingin berdakwah di ranah publik namun khawatir akan privasi visual tubuhnya.
Menghargai Privasi dan Otoritas Tubuh Seseorang
Sebagai manusia yang beretika, seharusnya kita bisa lebih menghargai privasi dan otoritas tubuh seseorang. Terkait dengan dakwah Ustazah Halimah Alaydrus misalnya. Saya sangat menyayangkan seandainya ada jamaah yang bandel dan diam-diam mengambil visualisasi beliau, apalagi jika sampai menyebarkanya. Sungguh sebuah perbuatan yang tidak beretika bahkan dapat dikategorikan kriminal.
Dalam kasus sebaliknya, kita juga seharusnya dapat menghargai mereka yang memilih untuk menunjukan visualisasinya di dunia maya. Ini bukan masalah keayakinan beragama seseorang, namun lebih ke bagaimana kita memahami bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengatur tubuh dan privasinya sendiri. Tentu dalam batasan tidak merugikan orang lain.
Pada kasus perempuan tidak berhijab atau justru memilih berniqab misalnya. Tak perlu kiranya kita menghakimi mereka hanya berdasarkan keyakinan yang kita miliki. Selagi mereka tidak merugikan kita, biarkanlah mereka berekspresi dan memiliki otoritas penuh pada tubuhnya, sekaligus menanggung apa saja konsekuensinya.
Namun selama menjelajah internet fakta yang saya temukan justru sebaliknya. Banyak orang yang belum bisa menghargai privasi dan otoritas tubuh seseorang. Misalnya dengan merekam aktivitas seseorang (entah sudah izin atau belum) lalu menyebarkanya di media sosial. Atau para netizen yang ramai mengomentari penampilan seseorang berdasarkan opini dan keyakinan masing-masing. Parahnya jika sudah disertai dengan hate speech.
Berkomentar dan memposting sesuatu juga bagian dari kebebasan berekspersi. Namun hendaklah hal itu dialkukan dengan cara yang lebih santun dan beretika. Tanpa menggunakan hate speech atau merugikan privasi orang lain. Alangkah lebih baiknya kita berkomentar dan memposting sebauh sesuatu dengan lebih memperhatikan ranah privasi serta otoritas tubuh seseorang.
Kholifah Rahmawati (Mahasiswa UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan. Instagram: @kholifahrahma3.)
Leave a Review