Salah satu perdebatan yang cukup digencarkan oleh aktivis khilafah menghadapi tahun politik, adalah kritik keras terhadap perjuangan para perempuan untuk memperoleh ruang dan kedudukan dalam ranah politik. Kritik para aktivis khilafah sebenarnya wacana usang yang selalu dilontarkan untuk mendiskreditkan perjuangan para aktivis perempuan.
Sebenarnya, sangat wajar apabila para aktivis memperjuangkan suara perempuan untuk memperoleh ruang yang lebih luas agar berkiprah dalam ranah politik. Perjuangan ini saya rasa adalah hal yang wajib mengingat bahwa, salah satu faktor alasan perempuan dalam ranah parlemen masih jauh dibandingkan dengan kuota adalah penerimaan masyarakat terhadap politisi perempuan.
Artinya, sebesar apapun upaya untuk mendorong agar perempuan maju dalam pemilu, keputusan ada di tangan rakyat. Kesadaran untuk mendorong masyarakat agar melirik partisipasi perempuan dalam ranah politik, dengan wacana yang dibawa perlu untuk terus disuarakan. Perjuangan para aktivis perempuan setidaknya bisa dilihat dari tiga hal, di antaranya:
Pertama, mendorong dari kelompok perempuan sendiri untuk berpartisipasi secara penuh dan memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam ranah politik. Kedua, mendorong partai politik untuk memiliki perspektif gender agar kehadiran perempuan tidak hanya dijadikan sebagai sosok untuk memenuhi kuota 30%. Artinya partai politik sangat perlu untuk memberikan pendidikan politik bagi para perempuan agar memiliki kesadaran dan kepekaan untuk berpartisipasi secara aktif. Ketiga, mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya kehadiran perempuan dalam ranah politik. Upaya ini akan berdampak kepada masyarakat dengan melihat kehadiran perempuan tidak dilihat dari jenis kelaminnya. Akan tetapi melihat wacana politik dan gagasan yang diusung untuk masyarakat.
Perempuan di Tengah Pusaran Ideologi Khilafah
Keterlibatan perempuan dalam ranah politik masih sangat jauh dari kuota yang sudah disediakan oleh pemerintah. Pada pemilu tahun 2004-2009 ada sebanyak 11,6% perempuan yang ada di parlemen. Pemilu tahun 2009-2014, terdapat 18% perempuan yang ada di parlemen. Data terakhir, utamanya pemilu tahun 2019-2024, sebanyak 20,5% perempuan yang terdapat di parlemen. Angka ini masih jauh dengan kuota 30% yang pemerintah dorong untuk mendukung keterwakilan perempuan.
Data ini masih sangat jauh dari kebutuhan masyarakat. Keterwakilan perempuan sangat penting, salah satunya adalah kebijakan yang ramah terhadap perempuan. Tantangan perjuangan ini adalah narasi yang dikampanyekan oleh aktivis khilafah. Dalam media Muslimahnews.net, dijelaskan bahwa:
“Ketika saat ini banyak perempuan sudah punya kursi di Senayan, misalnya, ternyata mereka justru mendukung aturan yang mengakibatkan kerusakan dan kezaliman tersebut. Mereka mendukung liberalisasi sumber daya alam sehingga melanggengkan kemiskinan. Bahkan, ketika para perempuan menjadi anggota dewan, lembaga ini tetap menjadi sarang korupsi. Lantas, apa bedanya dengan masa sebelumnya? Tidak ada. Tidakkah ini menjadi bukti nyata absurdnya ide gender?Akibat keharusan mencapai kuota 30% perempuan, partai-partai akhirnya asal “menempel” nama dalam daftar calegnya, semata agar mencapai kuota. Masalah kelayakan dan kualitas sang caleg tidak banyak diperhatikan, yang penting perempuan. Pada akhirnya, perempuan seolah menjadi “toping” pelengkap demokrasi. Sekadar menjadi pemanis, tetapi eksistensinya tidak esensial.”
Argumen di atas perlu kita pertentangkan. Penulis sebagai perempuan, yang memiliki kesadaran penuh untuk mendukung affirmative action perempuan dalam ranah politik. Penulis merasa bahwa, para aktivis khilafah tidak sedang menentang ide gender. Akan tetapi lebih menentang sistem pemerintahan yang kacau balau. Kehadiran para perempuan yang duduk di parlemen dikritik karena sejauh ini mengacu pada partai yang asal pilih untuk memenuhi kuota 30%.
Seharusnya, kritik yang disampaikan oleh para aktivis khilafah ini sebenarnya bisa dilihat dari beberapa sisi. Mendorong kehadiran perempuan dalam ranah politik tidak semata-semata untuk memenuhi kuota 30% saja. Pemilihan kuota 30% berdasar pada hasil penelitian PBB yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30% memungkin terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga publik.
Jika mengkritik kebijakan partai dalam memilih calon perempuan, maka seharusnya yang dikritik adalah kesadaran masyarakat serta kesadaran para perempuan untuk menyuarakan kebijakan ramah perempuan dan meningkatkan pengetahuan serta pemahaman dalam membangun negara dan menjadi perwakilan masyarakat yang benar-benar merakyat. Bukan malah mendiskreditkan perempuan sebagai manusia utuh seperti narasi yang belakangan ini dikampanyekan.
Narasi yang disebarkan oleh para aktivis khilafah, merupakan tantangan perempuan dalam pusaran ideologi khilafah. Narasi tersebut menempatkan perempuan sebagai sosok korban akibat dari sistem demokrasi yang kacau balau. Keberadaan narasi ini turut menjadi alasan mengapa perjuangan para aktivis perempuan ini sangat panjang. Agar tidak banyak perempuan yang menjadi korban dan di nina bobok-an oleh ideologi khilafah. Wallahu A’lam.
Leave a Review