Pernahkah kita melihat sebuah video amatir dari seseorang yang sengaja datang ke masjid kemudian menembak seluruh jemaah yang ada di masjid tersebut sampai meninggal? Video tersebut disiarkan secara langsung selama 17 menit oleh seorang laki-laki bersenjata pergi ke Masjid Al-Noor di Deans Ave, Selandia Baru. Video itu tersebar di seluruh akun media sosial dan mendapatkan kecaman dari masyarakat secara global.
Video itu, persis dengan adegan game mobile legend yang saya mainkan untuk hiburan di waktu luang. Secara pribadi, ada sensasi berdebar, ketakutan pasca menonton video tersebut, lalu kemudian bermain game. Apalagi ketika melihat beberapa orang dengan luka tembakan yang meninggal ketika berdoa di masjid tersebut, rasanya seperti menjadi pelaku yang menembak disaat bermain game.
Fenomena di atas bisa menjadi contoh, bahwa keamanan masjid perlu diperhatikan oleh pemerintah agar tidak disusupi oleh kelompok ekstremis, radikalis ataupun teroris. Namun, apakah kontrol pemerintah dalam semua kegiatan masjid sangat penting?
Kabar terbaru terkait usul kebijakan yang diciptakan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) adalah kontrol rumah ibadah oleh pemerintah, dalam rangka mencegah radikalisme di tempat ibadah. Kebijakan kontrol rumah ibadah ini sebenarnya, sudah diterapkan di Malaysia, Singapura dan beberapa negara Timur Tengah untuk mencegah adanya penyusupan radikalisme di masjid. Namun, apakah kebijakan ini cocok diterapkan di Indonesia?
Awas! Jatuh pada Diktatorisme
Pendekatan kontrol tentu sangat tidak cocok untuk menanggulangi persoalan radikalisme di masjid. Selain itu, pendekatan ini mudah tergelincir menjadi bentuk tirani atau diktatorisme. Jika sudah mengarah pada hal itu, maka sangat rentan menciderai hak asasi manusia, dan akan menciptakan sentimen dan radikalisme semakin menguat. Alih-alih memberantas radikalisme, justru akan muncul masalah baru yang mengatasnamakan radikalisme itu sendiri. Tidak heran, apabila masyarakat tidak memiliki rasa yang kuat untuk belajar masalah radikalisme. Karena representasi kebijakan yang bisa diterima oleh rakyat, sangat tidak merakyat dan bersifat memaksa.
Usul dari kebijakan ini sebenarnya adalah menjawab keluhan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Safarudin, soal adanya masjid BUMN yang isi ceramahnya selalu menyebarkan kebencian terhadap pemerintah. Kebijakan kontrol pemerintah atas masjid sebenarnya akan meminimalisir kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu masjid, sehingga mampu menciptakan keamanan. Tidak hanya itu, program masjid yang berkaitan erat dengan radikalisme, memberikan pengaruh besar terhadap dinamika masjid itu sendiri. Di satu sisi, kita bisa melihat celah kebaikan atau kebermanfaatan atas kebijakan ini karena, masyarakat akan bisa menggugat keamanan untuk suatu masjid agar bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna tanpa takut sewaktu-waktu bom meledak, misalnya.
Namun, bukankah ini nanti masjid tidak memiliki hak kuasa untuk menjalankan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan, sedangkan di sisi lain pemerintah akan menganggap bahwa suatu kegiatan tidak perlu dilakukan?
Alih-alih menciptakan keamanan, justru kuasa atas masjid dan segala peribadatan, serta kegiatan yang perlu dilakukan untuk menciptakan rasa aman kepada masyarakat, menjadi tidak bisa dilakukan karena kontrol pemerintah. Belum jelas seperti apa kontrol pemerintah yang dimaksud oleh BNPT, namun paling tidak, perlu kebijakan lain apabila ingin menghempas radikalisme di masjid selain memberikan peran pemerintah untuk kontrol masjid.
BNPT perlu mengusulkan kegiatan-kegiatan yang lebih konkret dengan berbagai kegiatan, program yang bisa mencegah radikalisme di masjid. Kehadiran BNPT sebagai lembaga yang menanggulangi terorisme, perlu bekerja sama dengan para pengurus masjid supaya merumuskan strategi seperti apa, yang cocok untuk mencegah radikalisme. Sebab pendekatan dengan kontrol, semacam kembali pada era orde baru, di mana pemerintah memiliki kendali atas segala dinamika yang terjadi di Indonesia, termasuk kontrol terhadap masjid. Kebijakan ini nantinya juga, berpotensi untuk menghasilkan formalisasi dan rezimentasi paham agama. Melalui pendekatan ini, kekhawatiran yang diprediksi itu tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Apakah kebijakan ini merupakan langkah mundur pemerintah? Wallahu A’lam.
Leave a Review