Kabarumat.co – Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) UIN Walisongo Semarang, Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag., mengatakan, terorisme tidak ada kaitan dengan nilai religius. ”Moderasi adalah hal yang penting dengan menitik berat pada poin tawazun (seimbang), ta’adul (adil), dan tasamuh (toleransi),’’ tegasnya.
Dia mengatakan hal itu dalam pidato keynote speech pembukaan seminar ‘’ Annual International Qolloquium 2024 : Integrasi Modal Spiritual dan Kultivasi Ketahanan Mental yang menjadi Katalisator untuk Mencapai Harmoni Global’’, Jumat (8/3/2024).
Menurut Prof. Syamsul, The Center for Interdisiciplinary Studies on Religion and Culture (CIRSC) menggandeng Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo Semarang dalam menyelenggarakan acara Annual International Colloquium 2024.
Acara dihadiri 173 orang di Gedung Teater Rektorat Kampus 1 Jrakah, Semarang. Seminaf dibuka oleh perwakilan dari PSIAB Dr. Ferry Mamahit, Ph.D., Rektor UIN Walisongo Prof. Dr. Nizar Ali, M.Ag., dalam pidato opening speech mengatakan, di dunia yang ditandai keragaman pandangan dan perbedaan tajam.
Hingga sering berujung pada konflik dan perpecahan. The CIRSC 2024 Annual International Colloquium 2024 bertema Beyond the Divine: Spiritual Capital, Mental Resilience, and Global Harmony Across Faith and Cultures bermaksud untuk melakukan eksplorasi yang mendalam terhadap kompleksitas kapital spiritual, ketahanan mental, dan harmoni global.
”Menyadari pentingnya persatuan dan pemahaman yang mendalam di Tengah kekayaan ragam, iman, dan budaya, kolokium ini berusaha memahami berbagai konektivitas yang mendasari kesejahteraan baik individu maupun kolektif di dalam Masyarakat,’’ kata Nizar.
Mantan Sekjen Kementerian Agama RI itu mengatakan, di tengah keberagaman global yang kaya, acara ini ingin menyelami pengalaman kebersamaan manusia yang melampaui batas budaya dan agama.
Dengan tujuan untuk membentuk rasa kesamaan yang dapat berkontribusi pada pengayaan manusia baik secara personal maupun kolektif. ‘’Dengan menyadari potensialitas di tengah konteks keberagaman, kolokium ini bertujuan menyediakan sebuah platform untuk diskusi yang bermanfaat,”
”Mendorong peserta untuk menjelajahi bagaimana integrasi modal spiritual dan kultivasi ketahanan mental dapat menjadi katalisator untuk mencapai harmoni global,’’ kata Prof. Nizar.
Menurutnya acara itu bermaksud menerangi jalan akademis-praktis menuju dunia yang lebih terhubung dan harmonis melalui studi, dialog, dan eksplorasi yang mendalam. Di mana nilai-nilai bersama dan pengertian saling mempererat relasi berbagai komunitas iman dan budaya.
Lucky Ade Sessiani MPsi mengupas sebuah studi netnografi mengenai paparan konflik Israel-Palestina dan dampaknya terhadap kesehatan mental. Netnografi sendiri merupakan uraian mendalam mengenai fenomena dan pertanyaan penelitian melalui etnografi di internet. “Salam menunjukkan bahwa kita menghargai orang lain dan mengakui value mereka. Dengan meluangkan waktu untuk menyapa seseorang.”
”Kita menegaskan pentingnya orang tersebut dan membangun landasan rasa saling menghormati,” kata Lucky.
Menurutnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan di jejaring media sosial Tiktok, konflik Israel dan Palestina berhasil menarik simpati netizen yang menimbulkan emosi psikologis yang beragam. Salah satunya empati, kesedihan, kesalahan, putus asa, amarah, dan religiusitas. “Emosi itu menular dan emosi itu dipelajari,” katanya.
Materi berikutnya disampaikan Dr. Christopher M. Joll tentang pendekatan alternatif terhadap konflik muslim di Asia Tenggara, dengan menitikberatkan bahasa bisa menjadi alternatif untuk penyelesaian konflik. Menurut dia, sebagaimana yang terjadi di Negara Thailand, kehidupan di Thailand Selatan yang berdekatan dengan Malaysia dengan indeks penduduk muslim tinggi.
Secara akses pendidikan, ekonomi, dan teknologi lebih baik dibandingkan Thailand Utara yang secara geografis berdekatan dengan Kamboja dengan indeks penduduk muslim rendah.
Dr. Robbert Pope, mengupas dalam Islam unsur-unsur terpenting dalam pembentukan karakter adalah pendidikan anak-anak. Nilai-nilai keagamaan, dan peran keluarga serta komunitas agama yang sangat dominan.
Sedangkan, bagi kaum Pentakosta unsur penting pembentukan karakter adalah pembacaan kitab suci secara kognitif, pertobatan batin, dan pimpinan internal roh Tuhan.
Leave a Review